Rabu, 15 Februari 2012

virus sederhana


Senin, 09 Januari 2012

makalah jarh wa ta'dil


PENDAHULUAN

            Ilmu jarh wa ta’dil termasuk salah satu bidang studi yang menarik perhatian para pelajar ilmu hadits khususnnya dan para penuntut ilmu agama umumnya. Hal ini disebabkan antara lain karena ilmu jarh wa ta’dil ini termasuk salah satu dari cabang-cabang ilmu hadits yang dengannya bisa diketahui hal-ihwal para perawi hadits yang sangat berpengaruh terhadap kualitas hadits yang mereka riwayatkan. Kendatipun demikian, kadang-kadang juga terdapat suatu anggapan ditengah-tengah masyarakat Islam bahwa menjarh (mencela) perawi hadits termasuk perbuatan yang tidak dibenarkan oleh islam.
            Oleh karena itu, maka sangat perlu sekali pemakalah memaparkan didalam makalah ini tentang pengertian ilmu jarh wa ta’dil, sejarah perkembangannya, kaidah-kaidah yang digunakan dalam ilmu jarh wa ta’dil, serta hal-hal lain yang berhubungan dengan ilmu ini.



















AL-JARH WA AL-TA’DIL


A.  Pengertian
       Kata al-jarh adalah bentuk isim masdar dari kata جَرْحًا – يَجْرُحُ – جَرَحَ  yang berarti melukai atau luka yang mengalirkan darah.[1] Atau memaki, menista, dan menjelek-jelekan (baik secara berhadapan langsung maupun dari belakang).[2]
       Dalam istilah ilmu hadits, kata al-jarh berarti terlihatnya sifat pribadi periwayat yang tidak adil, atau sifat buruk dibidang hafalannya dan kecermatannya, yang menyebabkan gugurnya atau lemahnya riwayat yang disampaikan. Atau sifat seorang rawi yang dapat mencacatkan keadilan dan kehafalannya. Al-jarh dapat pula diartikan memberikan sifat kepada seorang perawi dengan sifat yang menyebabkan pendhaifan riwayatnya atau tidak diterima riwayatnya.
       Ilmu al-jarh adalah ilmu yang mempelajari cacat para perawi seperti pada keadilan dan kedhabitannya. Para ahli hadits mendefenisikan al-jarh dengan:

الطَّعْنُ فِى رَاوِى الْحَدِيْثِ بِمَا يَسْلُبُ أَوْ يَخِلُّ بِعَدَالَتِهِ أَوْ ضَبْطِهِ
      
“kecacatan pada perawi hadits disebabkan oleh sesuatu yang dapat merusak keadilan atau kedhabitan perawi”
       Lawan dari kata al-jarh adalah at-ta’dil. Kata at-ta’dil adalah bentuk masdar dari kata تَعْدِيْلٌ – يُعَدِّلُ – عَدَّلَ  yang berarti mengemukakan sifat-sifat adil yang dimiliki oleh seseorang. Artinya, membersihkan dan mensucikan perawi dan menetapkan bahwa ia adil dan dhabit.
       Ajjaj al-Khatib, seorang ahli hadits kontemporer dari suriah mengatakan, bahwa at-ta’dil adalah orang yang tidak tampak padanya sifat-sifat yang dapat merusak agama dan perangainya, sehingga berita dan kesaksiannya dapat diterima sebagai suatu kebenaran.[3]
       Hasbi Ash Shiddieqy mendefenisikannya, sebagai berikut:

وَصْفُ الرَّاوِي بِصِفَاتٍ تُوْحِبُ عَدَالَتُهُ الَّتِى هِيَ مِدَارُ الْقَبُوْلِ لِرِوَايَتِهِ
       “mensifatkan si perawi dengan sifat-sifat yang dengan karenanya orang memandangnya adi, yang menjadi puncak penerimaan riwayatnya”.
       Adilnya rawi terlihat pada pengamalan dan ketekunannya dalam menunaikan ajaran agama, terhindar dari perbuatan terlarang dan keji, memprioritaskan kebenaran serta memelihara ucapannya dari hal-hal yang merusakkan agama dan kepribadiannya.
       Atas dasar tersebut, maka ilmu al-jarh wa at-ta’dil bisa diartikan sebagai ilmu yang menerangkan tentang cacat-cacat yang dihadapkan kepada para perawi dan tentang penta’dilannya (memandang lurus perangai) para perawi dengan memakai kata-kata yang khusus untuk menerima atau menolak riwayat mereka.[4] Ali Mustafa Yaqub mendefenisikannya dengan ilmu yang mengupas karakteristik masing-masing rawi, apakah ia seorang yang bertaqwa, jujur, kuat ingatannya, dan sebagainya, atau ia seorang yang suka berbuat maksiat, pelupa, pendusta, dan sebagainya.
       Abd al-Maujuf mendefenisikan ilmu al-jarh wa at-ta’dil adalah: ilmu yang menerangkan tentang cacat yang dihadapkan kepada para perawi dan tentang penta’dilannya (memandang adil para perawi dengan memakai kata-kata yang khusus dan tentang martabat-martabat kata-kata itu.[5]
       Dengan demikian, maka ilmu al-jarh wa at-ta’dil adalah ilmu yang membahas hal ihwal rawi dengan menyoroti kesalehan dan kejelekannya, sehingga dengan demikian periwayatannya dapat diterima atau ditolak.
       Al-Ghazali dan an-Nawawi, sebagaimana dikutip oleh Hasbi Ash Shiddieqy mengatakan, bahwa tajrih termasuk kategori umpat yang dibolehkan untuk tujuan kemaslahatan. Mengumpat orang (tajrih) dibolehkan baik dia masih hidup ataupun sudah meninggal karena ada kepentingan agama yang harus dicapai dengan mengumpat itu.[6]
       Mengumpat (tajrih) yang dibolehkan ada enam macam, yaitu:
1.    Karena teraniaya. Boleh bagi seseorang yang teraniaya mengatakan kepada hakim bahwa dia telah dizalimi oleh seseorang dengan tindakannya begini-begini.
2.    Meminta pertolongan untuk membasmi kemungkaran. Seseorang boleh mengatakan kepada penguasa atau kepada yang dapat membasmi kemungkaran bahwa seseorang telah berbuat jahat, maka tegurlah dia.
3.    Untuk meminta Fatwa. Seorang mustafti boleh mengatakan kepada seorang mufti bahwa ia telah dizalimi. Maka dia boleh menceritakan bagaimana jalan melepaskan diri dan kezaliman itu.
4.    Untuk menghidarkan manusia dari kejahatan orang yang jahat. Dalam hal ini, mencela diri saksi di depan hakim atau mencela para perawi hadits yang memang patut dicela. Tindakan ini boleh hukumnya dengan ijma’ ulama, bahkan ada yang mengatakan hukumnya wajib.
5.    Orang yang dijarah itu orang yang terang-terangan berbuat bid’ah, maka boleh disebut secara terang-terangan bid’ah yang dianut dan maksiat-maksiat yang dilakukannya.
6.    Untuk memperkenalkan pribadi yang sebenarnya. Apabila seseorang terkenal dengan suatu sifat yang menunjuk kepada suatu keaiban, seperti si tuli, maka kita boleh mengatakan “si A yang tuli” dengan maksud menerangkan keadaan orang itu dan bukan dengan maksud menjelekkannya.[7]

B.  Sejarah dan Perkembangannya
Pertumbuhan ilmu jarh wa ta’dil seiring dengan tumbuhnya periwayatan hadits. Namun perkembangannya yang lebih nyata adalah sejak terjadinya al-fitnah al-kubra atau pembunuhan terhadap khalifah Utsman bin Affan pada tahun 36 H. Pada waktu itu, kaum muslim telah terkotak-kotak kedalam berbagai kelompok yang masing-masing mereka merasa memiliki legitimasi atas tindakan yang mereka lakukan apabila mengutip hadits-hadits Rasulullah SAW. Jika tidak ditemukan, mereka kemudian membuat hadits-hadits palsu. Sejak itulah para ulama hadits menyeleksi hadits-hadits Rasulullah SAW, tidak hanya dari segi matan atau materinya saja tetapi mereka juga melakukan kritik terhadap sanad serta para perawi yang menyampaikan hadits tersebut. Diantara sahabat yang pernah membicarakan masalah ini adalah Ibnu Abbas (68 H), Ubaidah Ibn Shamit (34 H), dan Anas bin Malik (39 H).
       Apa yang dilakukan oleh para sahabat terus berlanjut pada masa tabi’in dan atba’ut tabi’in serta masa-masa sesudah itu untuk memperbincangkan kredibilitas serta akuntabilitas perawi-perawi hadits. Diantara para tabi’in yang membahas jarh wa ta’dil adalah Asy-Sya’bi (103 H), Ibnu Sirrin (110 H), dan Sa’id bin al-Musayyab (94 H). Ulama-ulama jarh wa ta’dil menerangkan kejelekan para perawi, walaupun para rawi itu ayahnya, anaknya, ataupun saudaranya sendiri. Mereka berbuat demikian, semata-mata untuk memelihara agama dan mengharapkan ridha dari Allah SWT. Syu’bah ibn al-Hajjaj (82 H-160 H ), pernah ditanyakan tentang hadits Hakim bin Zubair. Syu’bah menjawab: “saya takut kepada neraka”. Hal yang sama pernah dilakukan kepada Ali ibn al-Madini (161 H-234 H) tentang ayahnya sendiri. Ali ibn al-Madini menjawab, “Tanyakanlah tentang hal itu kepada orang lain”. Kemudian orang yang bertanya itu mengulangi lagi pertanyaannya. Kemudian Ali berkata: “ayahku adalah seorang yang lemah dalam bidang hadits”.[8]
       Para ahli hadits sangat berhati-hati dalam memperkatakan keadaan para rawi hadits. Mereka mengetahui apa yang harus dipuji dan apa yang harus dicela. Mereka melakukan ini hanyalah untuk menerangkan kebenaran dengan rasa penuh tanggung jawab.
       Ilmu jarh wa ta’dil yang embrionya telah ada sejak zaman sahabat, telah berkembang sejalan dengan perkembangan periwayatan hadits dalam Islam. Beberapa ulama bekerja mengembangkan dan menciptakan berbagai kaidah, menyusun berbagai istilah, serta membuat berbagai metode penelitian sanad dan matan hadits, untuk “menyelamatkan” hadits Nabi dari “noda-noda” yang merusak dan menyesatkan.[9]
       Demikianlah sesungguhnya jarh wa ta’dil adalah kewajiban syar’I yang harus dilakukan. Investigasi terhadap para perawi dan keadilan mereka bertujuan untuk mengetahui apakah rawi itu seorang yang amanah, alim terhadap agama, bertaqwa, hafal dan teliti, pada hadits, tidak sering dan tidak peragu. Semua ini merupakan suatu keniscayaan. Kealpaan terhadap kondisi tersebut akan menyebabkan kedustaan kepada Rasulullah SAW.[10]
       Jarh dan ta’dil tidak dimaksudkan untuk memojokkan seorang rawi, melainkan untuk menjaga kemurnian dan otentisitas agama Islam dari campur tangan pendusta. Maka hal itu wajar-wajar saja, bahkan merupakan suatu keharusan yang harus dilakukan. Sebab tanpa ilmu ini tidak mungkin dapat dibedakan mana hadits yang otentik dan mana hadits yang palsu.
       Pada abad ke-2 H, ilmu jarh wa ta’dil mengalami perkembangan pesat dengan banyaknya aktivitas para ahli hadits untuk mentajrih dan menta’dil para perawi. Diantara ulama yang memberikan perhatian pada masalah ini adalah Yahya bin Sa’ad al-Qathtan (189 H), Abdurrahman bin Mahdi (198 H), Yazim bin Harun (189 H), Abu Daud at-Thayalisi (240 H), dan Abdurrazaq bin Humam (211 H).[11]
       Perkembangan ilmu jarh wa ta’dil mencapai puncaknya pada abad ke-3 H. Pada masa ini muncul tokoh-tokoh besar dalam ilmu jarh wa ta’dil, seperti Yahya bin Ma’in (w.230 H), Ali bin Madini (w.234 H), Abu Bakar bin Abi Syaihab (w.235 H), dan Ishaq bin Rahawaih (w. 237 H). Ulama-ulama lainnya adalah ad-Darimi (w. 255 H), al-Bukhari (w.256 H), Muslim (w. 261 H), al-Ajali (w.261 H), Abu Zur’ah (w.264 H), Abu Daud (w.257 H), Abu Hatim al-Razi (w.277 H), Baqi ibn Makhlad (w. 276 H), dan Abu Zur’ah ad-Dimasqy (w.281 H).[12]
       Karya-karya besar dalam ilmu jarh wa ta’dil diantaranya, yaitu:
1. Ma’rifatur rijal, karya Yahya Ibni Ma’in, merupakan kitab pertama yang sampai pada kita, juz I buku tersebut berupa manuskrip ( tulisan tangan) berada di Darul Kutub Adh-Dhahiriyah

2.
Ad-Dhu’afa’, karya Imam Muhammad bin Isma’il Al-Bukhpri . Dicetak di Hindia tahun 320 H

3. At-Tsiqat, karya Abu Hatim bin Hibban Al-Busty (wafat tahun 304 H). Ingat bahwa beliau ini sangat muda menta’dil rawi jadi hati-hati atas pendapatnya. Naskah asli kitab ini ditemukan di Darul Kutub Al-Mishriyah dengan tidak lengkap.

4. Al-jarhu wa ta’dil, karya Abdurrahman bin Abi Hatim Ar-Razy (240-326 H), kitab ini merupakan kitab yang terbesar dan mempunyai banyak faidah bagi kita. Terdiri dari 4 jilid yang memuat 18.055 rawi, sering di setak berkali-kali dan terakhir dicetak di India pada tahun 1373 H menjadi 9 jilid, 1 jilid I dijadikan mukaddimah dan jilid yang lainya dijadikan 2.

5. Mizanul I’tidad, karya Imam Syamsuddin Muhammad Ad-Dzahabi (673-748), terdi dari 3 jilid, sudah dicetak berkali-kali dan terakhir dicetak di Mesir tahun 1325 H mencakup 10.907oran rijalus sanad.

6. Lisanul Mizan, karya Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalany (773-852 H) memuat 14.343 rijalus sanad, dicetak di India pada th 1329-1331 dalam 6 jilid.

C.  Faidah Ilmu Jarh wa Ta’dil

Faedah mengetahui ilmu Jarh wa Ta’dil ialah untuk menetapkan apakah periwayatan seorang rawi itu dapat diterima atau harus ditolak sama sekali. Apabilah seorang rawi sudah di tarjih sebagai rawi yang cacat maka periwayatanya ditolak dan apabilah seorang rawi dita’dil sebagi orang yang adil maka periwayatanya diterima, selama memenuhi syarat-syarat yang lain untuk menerima hadits dipenuhi.

Cacat (keaiban) rawi itu banyak. Akan tetapi umumnya berkisar pada 5 macam, yaitu :

1. Bid’ah (melakukan tindakan tercela, diluar ketentuan Syara’)
Rawi yang disifati dengan bid’ah adakalanya tergolong orang-orang yang di anggap kafir dan adakalanya tergolong orang yang difasikan. Mereka yang dianggap kafir adalah golongan Rafidhah yang mempercayai bahwa Tuhan itu menyusup (bersatu) pada sayyidina ‘Ali dan pada imam-imam yang lain , dan mempercayai bahwa Ali akan kembali lagi ke dunia sebelum hari kiamat.
Sedangkan orang-orang yang dianggap fasiq ialah orang yang mempunyai I’tikad bertentangan dengan dasar syari’at.

2. Mukhalafah (meriwayatkan hadits yang berbeda dengan periwayatan rawi yang lebih tsiqah).
Apabila rawi yang bagus ingatannya dan jujur meriwayatkan suatu hadits yang berlawanan maknanya dengan orang yang lebih kuat ingatannya atau berlawanan dengan kebanyakan orang, yang kedua periwayatan tersebut tidak dapat disatukan/digabungkan maknanya. Periwayatan demikian disebut "Syadz", dan kalau perlawanan itu berkesangatan atau rawinya lemah sekali hapalannya, periwayatannya disebut "Munkar".

3. Ghalath (banyak kekeliruan dalam periwayatannya)
Ghalath (slaah) itu kadang-kadnag banyak dan kadang-kadnag sedikit. Seorang rawi yang disifati banyak kesalahan dalam riwayatanya maka hendaknya diadakan peninjauan kembali terhadap hadits-hadits yang telah diriwayatkannya, akan tetapi jika periwayatnya tadi juga terdapat dalam periwatan rawi yang disifati dengan ghalath, maka haditsnya tsb dapat di pakai melalui sanad hadits kedua ini tapi apabila tidak ada maka haditsnya di tawaqufkan.

4. Jahalatul hal (tidak dikenal identitasnya)
Jahalatul hal merupakan pantangan untuk diterimanya haditsnya, selama belum jelas identitas rawinya. Apabila sebagian orang telah mengenal identitasnya dengan baik, kemudian ada yang mengingkarinya, dalam hal ini didahulukan penetapan orang yang telah mengenalnya, sebab tentu ia lebih tahu dari orang yang mengingkarinya.

5. Da’wal inqitha’ (diduga keras sanadnya terputus)
Misalnya menuduh rawi men-tadlis-kan atau meng-irsal-kan suatu hadits.

Cara untuk mengetahui keadilan dan kecacatan rawi dan masalah-masalahnya
Keadilan seorang rawi da
pat diketahui dengan salah satu dari dua ketetapan berikut :

a. Bi-Syuhrah, karena kepopulerannya di kalangan ahli ilmu bahwa dia terkenal sebagai orang yang adil. Seperti: Anas bin Malik, Sufyan Ats-Tsauri, Syu’bah bin Al-Hajjaj, Asy-Syafi’I, Ahmad dan lain sebagainya. Mereka yang sudah terkenal sebagai orang yang adil di kalangan para ahli ilmu, maka mereka tidak perlu lagi untuk diperbincangkan keadilannya.

b. [b]Pujian dari seseorang yang adil (tazkiyah). Yaitu ditetapkan sebagai rawi yang adil oleh orang yang adil, yang semula rawi yang dita'dilkan itu belum dikenal sebagai rawi yang adil. Begitupun kebalikannya dengan jarh.

 Syarat-syarat bagi penta’dil (mu’addil) dan pentarjih (jarih)
a) Berilmu pengetahuan
b) Takwa
c) Wara’ (orang yang selalu menjauhi perbuatan maksiat, syubhat, doea kecil, dan makruhat)
d) Jujur
e) Menjauhi fanatik glongan
f) Mengetahui sebab-sebab menta’dil dan dan mentajrih. (Mufassar)

Bolehkah penta’dilan dan pentajrihan seseorang tanpa menyebutkan sebab-sebabnya?
Disini terdapat perselisihan pendapat tapi yang dianut oleh para muhadditsin seperti Bukhari Muslim, Abu Dawud, dll adalah bahwa Menta’dil tanpa menyebutkan sebab-sebabnya itu boleh karena sebab-sebanya itu banyak sekali dan jika disebutkan bisa menyibukkan kerja saja tapi kalau dalam hal tajrih tidak boleh kerena setiap pentarjih mempunyai sebab-sebab yang berbeda-beda, padahal jarh dapat berhasil dengan satu sebab, maka perlu diterangkan cacat seorang rawi.

Jumlah orang yang di pandang cukup untuk menta’dil dan mentarjih rawi-rawi
Dalam hal ini terdapat perselisihan pendapat :
a) Pedapat fuqoha’ Madinah minimal 2 orang baik dalam syahadah maupun riwayah
b) Cukup 1 orang dalam riwayah dan bukan dalam soal syahadah, sebab bilangan tidak
menjajadi syarat dalam penerimaan hadits.
c) Cukup 1 orang saja, baik dalam soal riwayah maupun dalam soal syahadah.

 Pertentangan antara Jarh dan Ta’dil
Apabila terjadi pertentangan antara jarh dan ta'dil pada seraong rawi, dimana sebagian ulama’ menta’dil dan sebagian yang lain mentakhrij maka dalam hal ini terdapat ada 4 pendapat :
i. Jarhi harus didahulukan secara mutlak walau jumlah mu’addil lebih banyak dari pada jarhnya.
Sebab bagi rajih tentu lebih mengetahui tentang sisi batin dari rawi daripada mu’addil. Pendapat ini dianut oleh Jumhur 'ulama.
ii. Ta’dil harus didahulukan dari jarh
Karena jarihh bisa salah dalam mencacatkan rawi apalagi kalau ada rasa benci maka pasti sebab pentarjihanya bersifat subyektif berbeda dengan mu’addil dalam menilai rawi mereka lebih mendahulukan kelogisan atau obyektif
iii. Bila jumlah mu’addilnya lebih banyak dari rajih maka didahulukan ta’dil
Karena jumlah yang banyak memperkuat kedudukan mereka
iv. Masih tetap dalam pertentangan selama belum ditentukan yang menjarhnya.
Pengarang at-Taqrib mengemukakan sebab timbulnya khilaf ini ialah jika jumlah mu'adiil lebih banyak dari jarih, tetapi kalau jumlahnya seimbang atau lebih sedikit antara mu'addil dan jarih, maka didaulukan jarh, dan ini merupaka putusan 'ijma.

 Tingkatan lafadz dari yang terkuat untuk menta’dil rawi
Ibnu Hajar menyusun ke dalam 6 tingkatan, yaitu
1) Berbentuk af’alut tafdhil atau ungkapan lain yang setara maknanya dengan af’alut tafdhil.
Contoh :
أوثق الناس (Orang yang paling tsiqah)
أثبت الناس حفظا وعدالة (orang yang paling mantap hafalan dan keadilanya)
إليه المنتهي فى الثبت (orang yang paling top keteguhan hati dan lidahnya)
ثقة فوق الثقة (orang yang tsiqoh melebihi orang yang tsiqoh)

2) Berbentuk pengulangan lafadz yang sama atau dalam maknanya saja
Contoh:
ثبت ثبت (Orang yang teguh lagi teguh)
ثقة ثقة (orang yang tsiqah lagi tsiqah)
حجة حجة (orang yang ahli lagi petah lidahnya)
ثبة ثقة (orang yang teguh lagi tsiqah)
حافظ حجة (orang yang hafidz lagi petah lidahnya)
ضابط متقن (orang yang kuat ingatan lagi meyakinkan ilmunya )

3) Menggunakan Lafadz yang mengandung arti kuat ingatan
Contoh:
ثبت (orang yang teguh hati dan lidahnya )
متقن (orang yang meyakinkan ilmunya)
ثقة (orang yang tsiqoh)
حافظ (orang yang kuat hafalanya)
حجة (orang yang petah lidahnya)

4) Menggunakan Lafadz yang tidak menggunakan arti kuat ingatan dan adil Contoh:
صدوق (orang yang sangat jujur)
مأمون (orang yang dapat memegang amanat)
لابأس به (orang yang tidak cacat)

5) Menggunakan lafadz yang menunjukkan kejujuran rawi tanpa ada kedhabitn
Contoh:
محله الصدق (orang yang berstatus jujur)
جيد الحديث (orang yang baik haditsnya)
حسن الحديث (orang yang bagus haditsnya)
مقارب الحديث (orang yang haditsnya berdekatan dengan hadits-hadits orang lain yang tsiqoh)

6) Menggunakan lafadz yang menunjukkan arti mendekati cacat.
Seperti sifat-sifat diatas yang diikuti kafadz “inssaAllah”, atau ditashghitkan, atau lafadz tersebut dikaitkan dengan pengharapan .
Contoh:
صدوق إن شاءالله (orang yang jujur, jika Allah menghendaki)
فلان أرجوا بأن لابأس به (orang yang diharapkan tsiqah)
فلان صويلح (orang yang shalih)
فلان مقبول حديثه (orang yang diterima haditsnya)

6 tingkatan lafadz dari yang terjelek yang digunakan untuk mentajrih
rawi:
1) Menggunakan lafadz –lafadz af’alut tafdhil atau ungkapan-ungkapan lain yang serupa denganya menunjukkan amat cacatnya rawi.
Contoh:
أوضع الناس (orang yang paling dusta)
أكذب الناس (orang yang paling bohong)
إليه المنتهى فى الوضع (orang yang paling top kebohonganya)

2) Menggunakan lafadz –lafadz sighot mubalaghoh menunjukkan amat cacatnya rawi.
Contoh:
كذاب (orang yang pembohong)
وضاع (orang yang pendusta)
دجال (orang yang penipu)

3) Menunjukkan tuduhan dusta, bohong atau yang lainya
Contoh:
فلان متهم بالكذل (orang yang dituduh bohong)
أو متهم بالوضع (orang yang dituduh dusta)
فلان فيه النظر (orang yang perlu diteliti)
فلان ساقط (orang yang gugur)
فلان ذاهب الحديث (orang yang hadtsnya telah hilang)
فلان متروك الحديث (orang yang ditinggal haditsnya)

4) Menunjukkan amat lemahnya rowi
Contoh:
مطرح الحديث (orang yang dilempar haditsnya)
فلان ضعيف (orang yang lemah)
فلان مردود الحديث (orang yang ditolak hadtsnya)

5) Menunjukkan kacaunya hafalan rawi
Contoh:
فلان لايحتج به (orang yang tidak dapat dibuat hujjah hadtsnya)
فلان مجهول (orang yang tidak dikenal identitasnya)
فلان منكر الحديث (orang yang munkar haditsnya)
فلان مضطرب الحديث (orang yang kacau haditsnya)
فلان واه (orang yang banyak menduga-duga)

6) Menggunakan lafadz-lafadz yang dekat dengan sifat adil tapi menunjukkan kelemahanya.
Contoh:
ضعف حديثه (orang yang didho’ifkan haditsnya)
فلان مقال فيه (orang yang diperbincangkan)
فلان فيه خلف (orang yang disingkiri)
فلان لين (orang yang lunak)
فلان ليس با لحجة (orang yang tidak dapat digunakan hujjah haditsnya)
فلان ليس با لقوى (orang yang tidak kuat)

Tingkatan Ta’dil Dari yang Tertinggi Segi Kualitasnya:
1.      Shahih Bukhari
2.      Shahih Muslim
3.      Sunan Turmudzi
4.      Sunan Abu Daud
5.      Sunan An-Nasai
6.      Al-Bayhaqy
7.      At-Thabary




KESIMPULAN


Ilmu al-jarh wa at-ta’dil adalah ilmu yang membahas hal ihwal rawi dengan menyoroti kesalehan dan kejelekannya, sehingga dengan demikian periwayatannya dapat diterima atau ditolak.
            Faedah mengetahui ilmu Jarh wa Ta’dil ialah untuk menetapkan apakah periwayatan seorang rawi itu dapat diterima atau harus ditolak sama sekali. Apabilah seorang rawi sudah di tarjih sebagai rawi yang cacat maka periwayatanya ditolak dan apabilah seorang rawi dita’dil sebagi orang yang adil maka periwayatanya diterima.
            Syarat-syarat bagi penta’dil (mu’addil) dan pentarjih (jarih):
a) Berilmu pengetahuan
b) Takwa
c) Wara’ (orang yang selalu menjauhi perbuatan maksiat, syubhat, doea kecil, dan makruhat)
d) Jujur
e) Menjauhi fanatik glongan
f) Mengetahui sebab-sebab menta’dil dan dan mentajrih.














DAFTAR PUSTAKA


Abd al-Maujuf, Al-Jarh wa at-ta’dil, (Kairo: Dar al-Salafiyah, 1988)

Louis Ma’luf, al-munjibfi al-Lughat wa al-A’lam, (Beirut: Dar al-Fikr, 1987)

Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: Hidakarya, 1989)

Syuhudi Ismail, Hadits Nabi Menurut Pembela, Pengingkar, dan Pemalsunya, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995)


[1] Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: Hidakarya, 1989), h. 86.
[2] Louis Ma’luf, al-munjibfi al-Lughat wa al-A’lam, (Beirut: Dar al-Fikr, 1987), h.86
[3] Muhammad Ajjaj al-Khatib, Ushul al-hadits, h. 260.
[4] Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, sejarah dan pengantar, h. 155.
[5] Abd al-Maujuf, Al-Jarh wa at-ta’dil, (Kairo: Dar al-Salafiyah, 1988), h. 17.
[6] Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, op, cit.
[7] Ibid, h. 329-330
[8] Hasbi Ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits, (Jakarta: Penerbit Bulan Bintang), h. 52.
[9] Syuhudi Ismail, Hadits Nabi Menurut Pembela, Pengingkar, dan Pemalsunya, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), h. 52.
[10] ibid
[11] Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar, h. 135.
[12] ibid

Minggu, 08 Januari 2012

makalah politik islam


BAB 1
PENDAHULUAN

            Masalah politik termasuk salah satu bidang studi yang menarik perhatian masyarakat pada umumnya. Hal ini antara lain disebabkan karena masalah politik selalu mempengaruhi kehidupan masyarakat. Masyarakat yang tertib, aman, damai, sejahtera lahir batin, dan seterusnya tidak bisa dilepaskan dari system politik yang diterapka. Karena demikian pentingnya masalah politik ini, telah banyak studi dan kajian yang dilakukan para ahli terhadapnya. Demikian pula ajaran Islam sebagai ajaran yang mengatur kehidupan manusia secara menyeluruh juga diyakini mengandung kajian masalah politik dan kenegaraan. Dalam hubungan ini, Ibn Khaldun berpendapat bahwa agama memperkokoh kekuatan yang telah dipupuk oleh Negara dan solidaritas dan jumlah penduduk. Sebabnya adalah karena semangat agama bias meredakan pertentangan dan iri hati yang dirasakan oleh satu anggota dari golongan itu terhadap anggota lainnya, dan menuntun mereka ke arah kebenaran.[1]
            Sejalan dengan pemikiran tersebut, pada makalah ini pemakala akan memaparkan mengenai masalah politik dalam pandangan Islam yang meliputi pengertiannya, sejarah perpolitikan dalam Islam, prinsip-prinsip dasar politik Islam, dan ruang lingkup politik Islam. Supaya tidak ada lagi pemikiran-pemikiran yang bersifat fanatik terhadap pemikiran barat yang mengatakan bahwa Islam adalah agama yang hanya mengatur urusan hamba dengan tuhannya dan tidak mengatur masalah-masalah social termasuk politik ini. Padahal, persoalan yang pertama-tama timbul dalam Islam menurut sejarah bukanlah persoalan tentang keyakinan melainkan persoalan politik.[2]


















BAB 2
Politik Islam

A.   Pengertian Politik Islam
            Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, karangan W.J.S Poerwadarminta, politik diartikan sebagai pengetahuan mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan, seperti tata cara pemerintah, dasar-dasar pemerintahan dan sebagainya; dan dapat pula berarti segala urusan dan tindakan (kebijaksaan), siasat dan sebagainya mengenai pemerintahan suatu negara atau terhadap negara lain.[3]
            Selanjutnya sebagai suatu sistem, politik adalah suatu konsepsi yang berisikan antara lain ketentuan-ketentuan tentang siapa sumber kekuasaan Negara; siapa pelaksana kekuasaan tersebut; apa dasar dan bagaimana cara untuk menentukan serta kepada siapa kewenangan melaksanakan kekuasaan itu diberikan; kepada siapa pelaksanaan kekuasaan itu bertanggung jawab dan bagaimana bentuk tanggung jawabnya.[4]
            Dalam bahasa Arab, politik biasanya diwakili oleh kata al-siyasah dan daulah, walaupun kata-kata tersebut dan kata-kata lainnya yang berkaitan dengan politik seperti kadilan, musyawarah, pada mulanya buka ditujukan untuk masalah politik. Kata siyasah dijumpai dalam bidang kajian hukum, yaitu ketika berbicara masalah imamah, sehingga dalam fiqih dikenal adanya bahasan tentang Fiqih Siyasah. Demikian pula kata daulah pada mulanya dalam Al-qur’an digunakan untuk kasus penguasaan harta dikalangan orang-orang kaya, yaitu bahwa dengan zakat diharapkan harta tersebut tidak hanya berputar pada tangan-tangan orang yang kaya. Karena menurut sifatnya harta tersebut harus mengalir atau berputar, dan tidak hanya dikuasai oleh orang-orang yang kaya (dulatan baina agniya), kata daulah tersebut juga digunakan untuk masalah politik yang sifatnya berpindah dari satu tangan ke tangan lainnya. Demikian juga kata keadilan banyak digunakan untuk memutuskan perkara dalam kehidupan; dan kata musyawarah pada mulanya digunakan pada kasus suami istri yang akan menyerahkan anaknya untuk diasuh oleh perempuan lain yang dalam hal ini perlu dimusyawarahkan.[5]
            Namun dalam perkembangan selanjutnya sejarah menggunakan kata siyasah dan kata-kata lain yang maknanya berkaitan dengan kata tersebut digunakan untuk pengertian pengaturan masalah kenegaraan dan pemerintahan serta hal-hal lainnya yang terkait dengannya.

            Rasulullah SAW sendiri menggunakan kata politik (siyasah) dalam sabdanya : "Adalah Bani Israil, mereka diurusi urusannya oleh para nabi (tasusuhumul anbiya). Ketika seorang nabi wafat, nabi yang lain datang menggantinya. Tidak ada nabi setelahku, namun akan ada banyak para khalifah" (HR. Bukhari dan Muslim). Teranglah bahwa politik atau siyasah itu makna awalnya adalah mengurusi urusan masyarakat. Berkecimpung dalam politik berarti memperhatikan kondisi kaum muslimin dengan cara menghilangkan kezhaliman penguasa pada kaum muslimin dan melenyapkan kejahatan musuh kafir dari mereka. Untuk itu perlu mengetahui apa yang dilakukan penguasa dalam rangka mengurusi urusan kaum muslimin, mengingkari keburukannya, menasihati pemimpin yang mendurhakai rakyatnya, serta memeranginya pada saat terjadi kekufuran yang nyata (kufran bawahan) seperti ditegaskan dalam banyak hadits terkenal. Ini adalah perintah Allah SWT melalui Rasulullah SAW. Berkaitan dengan persoalan ini Nabi Muhammad SAW bersabda:

"Siapa saja yang bangun pagi dengan gapaiannya bukan Allah maka ia bukanlah (hamba) Allah, dan siapa saja yang bangun pagi namum tidak memperhatikan urusan kaum muslimin maka ia bukan dari golongan mereka." (HR. Al Hakim) 
Rasulullah ditanya oleh sahabat tentang jihad apa yang paling utama. Beliau menjawab : "Kalimat haq yang disampaikan pada penguasa" (HR. Ahmad).
Berarti secara ringkas Politik Islam memberikan pengurusan atas urusan seluruh umat Muslim. Namun, realitas politik demikian menjadi pudar saat terjadi kebiasaan umum masyarakat dewasa ini baik perkataan maupun perbuatannya menyimpang dari kebenaran Islam yang dilakukan oleh mereka yang beraqidahkan sekularisme, baik dari kalangan non muslim atau dari kalangan umat Islam. Jadilah politik disifati dengan kedustaan, tipu daya, dan penyesatan yang dilakukan oleh para politisi maupun penguasa. Penyelewengan para politisi dari kebenaran Islam, kezhaliman mereka kepada masyarakat, sikap dan tindakan sembrono mereka dalam mengurusi masyarakat memalingkan makna lurus politik tadi. Bahkan, dengan pandangan seperti itu jadilah penguasa memusuhi rakyatnya bukan sebagai pemerintahan yang shalih dan berbuat baik. Hal ini memicu propaganda kaum sekularis bahwa politik itu harus dijauhkan dari agama (Islam). Sebab, orang yang paham akan agama itu takut kepada Allah SWT sehingga tidak cocok berkecimpung dalam politik yang merupakan dusta, kezhaliman, pengkhianatan, dan tipu daya. Cara pandang demikian, sayangnya, sadar atau tidak mempengaruhi sebagian kaum muslimin yang juga sebenarnya ikhlas dalam memperjuangkan Islam. Padahal propaganda tadi merupakan kebenaran yang digunakan untuk kebathilan (Samih ‘Athief Az Zain, As Siyasah wa As Siyasah Ad Dauliyyah, hal. 31-33). Jadi secara ringkas Islam tidak bisa dipisahkan dari politik.
Adapun definisi politik dari sudut pandang Islam adalah pengaturan urusan-urusan (kepentingan) umat baik dalam negeri maupun luar negeri berdasarkan hukum-hukum Islam. Pelakunya bisa negara (khalifah) maupun kelompok atau individu rakyat.
Rasulullah saw bersabda:

Adalah Bani Israel, para Nabi selalu mengatur urusan mereka. Setiap seorang Nabi meninggal, diganti Nabi berikutnya. Dan sungguh tidak ada lagi Nabi selainku. Akan ada para Khalifah yang banyak” (HR Muslim dari Abu Hurairah ra).

Hadits diatas dengan tegas menjelaskan bahwa Khalifahlah yang mengatur dan mengurus rakyatnya (kaum Muslim) setelah nabi saw. hal ini juga ditegaskan dalam hadits Rasulullah:
Imam adalah seorang penggembala dan ia akan dimintai pertanggung jawaban atas gembalaannya”.

Jadi, esensi politik dalam pandangan Islam adalah pengaturan urusan-urusan rakyat yang didasarkan kepada hukum-hukum Islam. Adapun hubungan antara politik dan Islam secara tepat digambarkan oleh Imam al-Ghazali: “Agama dan kekuasaan adalah dua saudara kembar. Agama adalah pondasi (asas) dan kekuasaan adalah penjaganya. Segala sesuatu yang tidak berpondasi niscaya akan runtuh dan segala sesuatu yang tidak berpenjaga niscaya akan hilang dan lenyap”.
Berbeda dengan pandangan Barat politik diartikan sebatas pengaturan kekuasaan, bahkan menjadikan kekuasaan sebagai tujuan dari politik. Akibatnya yang terjadi hanyalah kekacauan dan perebutan kekuasaan, bukan untuk mengurusi rakyat. Hal ini bisa kita dapati dari salah satu pendapat ahli politik di barat, yaitu Loewenstein yang berpendapat “politic is nicht anderes als der kamps um die Macht” (politik tidak lain merupakan perjuangan kekuasaan).
           
            Adapun umat Islam berbeda pendapat tentang pengertian politik dalam syari’at Islam.[6] Pendapat Pertama, mengatakan bahwa Islam adalah satu agama yang serba lengkap yang didalamnya terdapat antara lain sistem ketatangaraan atau politik. Dalam bahasa lain, system politik atau fiqih Siyasah merupakan integral dan ajaran Islam. Lebih jauh kelompok ini berpendapat bahwa sistem keteladanan yang harus diteladani adalah sistem yang telah dilaksanakan oleh Nabi Muhammad Saw dan para Khulafaur rasyidin, yaitu sistem khalifah.
            Pendapat kedua, menyatakan bahwa Islam adalah agama dalam pengertian barat (sekuler), artinya agama tidak ada hubungannya degan urusan kenegaraan atau sistem pemerintahan. Menurut aliran ini Nabi Muhammad Saw hanya seorang rasul, seperti rasul-rasul yang lain, yang mempunyai misi menyiarkan agama bukan sebagai pemimpin dan pengatur Negara.
            Pendapat ketiga, menyatakan menolak bahwa Islam merupakan agama yang serba lengkap yang terdapat didalamnya segala sistem kehidupan termasuk sistem ketatanegaraan, tetapi juga menolak pendapat bahwa islam sebagaimana pendapat barat yang hanya mengatur hubungan manusia dengan tuhan. Aliran ini berpendirian bahwa dalam Islam tidak terdapat sistem ketatanegaraan, tetapi terdapat seperangkat tata nilai etika bagi kehidupan bernegara.
            Namun perlu diingat, sejarah membuktikan bahwa nabi kecuali seorang rasul atau kepala agama beliau adalah sebagai kepala negara. Nabi menguasai wilayah Yasrib atau Madinah al-Munawarah sebagai wilayah kekuasaan nabi, sekaligus menjadi pusat pemerintahannya dengan Piagam Madinah sebagai aturan dasar negaranya. Sepeninggal nabi, kedudukan beliau sebagai kepala Negara digantikan oleh Abu Bakar yang merupakan hasil kesepakatan para tokoh sahabat, selanjutnya disebut Khalifah. Sistem pemerintahannya disebut Khilafah, sistem ini berlangsung hingga kepemimpinan dibawah kekuasaan Ali bin Abi Tholib.
            Semua orang mengakui bahwa semua tata aturan yang Rasulullah Saw tegakkan bersama-sama para mukmin di Madinah, apabila ditinjau dari segi kenyataan dan dibandingkan dengan ukuran-ukuran politik pada masa modern ini dapatlah kita katakan bahwa tata aturan itu merupakan tata aturan politik. Dalam pada itu tidak ada hubungan kita mengatakan bahwa tata aturan itu berciri keagamaan, yaitu apabila kita lihat kepada tujuan-tujuannya dan penggerak-penggeraknya. Kalau demikian, dapatlah kita mengatakan bahwa tata aturan Islam itu adalah tata aturan yang bersifat politik dan bersifat agama. Hal itu karena hakikat Islam meliputi segi-segi kebendaan (maddiyah) dan segi-segi kejiwaan (ruhiyah)dan dia mencakup segala amal insani dalam kehidupan duniawiyah dan ukhrawiyah.[7]
B.   Sejarah Perpolitikan Dalam Islam

1.      Politik Islam Masa Nabi

Islam adalah agama pembaharu yang terasingkan dari tempat di mana ia diturunkan. Kota Makkah dengan berbagai corak kehidupan masyarakat sosial belum mampu menerima sepenuhnya kehadiran agama Islam. Hal itu dikarenakan sikap fanatisme yang mengakar untuk mempertahankan esensi kabilah-kabilah. Penolakan masyarakat sosial Makkah dapat kita lihat dari penindasan-penindasan yang dilakukan oleh kaum kafir Quraisy terhadapa Nabi Muhammad dan para pengikutnya.
Peristiwa tersebut menjadikan umat Islam merasa pesimis akan diterima oleh kabilah-kabilah yang ada, apalagi dengan ditolaknya seruan Nabi Muhammad oleh kabilah Thaqif dari Ta’if yang kemudian disusul dengan penolakan-penolakan yang dilakukan oleh kabilah-kabilah Kinda, Kalb, Banu ‘Amir dan Banu Hanifa.
Sejarah perkembangan Islam mencatat, bahwa Islam tumbuh berkembang pesat di wilayah Yatsrib. Wilayah ini dihuni oleh beberapa kabilah diantaranya, kabilah Aus, Khazraj dan Yahudi. Perkembangan Islam di Yatsrib dipengaruhi oleh adanya pertentangan perebutan kedaulatan dan kekuasaan antara kabilah Aus, Khazraj dan Yahudi. Selain itu, perkembangan Islam juga didukung oleh adanya keyakinan pada tubuh kaum Yahudi dengan aliran monotheismenya yang mencelah para penyembah berhala dan berkeyakinan bahwa akan datang suatu saat seorang Nabi yang akan mendukung mereka (Yahudi) dengan memberantas para penyembah berhala. Dari peristiwa-peristiwa lalu dapat kita ambil kesimpulan bahwa agama islam juga mempunyai kaitan yang erat dengan aspek politik. Sesuai dengan yang telah dipaparkan oleh Harun Nusution dalam bukunya bahwa persoalan yang pertama-tama timbul dalam Islam adalah prsoalan politik.[8]
Langkah politik Nabi Muhammad untuk mencari dukungan dari penduduk Yatsrib pertama kali nampak pada peristiwa Ikrar Aqabah, peristiwa tersebut menandai akan adanya kebebasan menyebarkan agama  Islam sehingga secara otomatis akan berdampak pada kekuatan Islam. Hal itu bisa kita lihat dari sikap kaum kafir Qurasy yang terus-menerus menyelidiki para pengikut Ikrar Aqabah untuk diperlakukan secara tidak manusiawi. Peristiwa itu terjadi karena kehawatiran kaum Qurasy akan munculnya kekuatan baru pada tubuh umat Islam sehingga akan mengganggu eksistensi kekuasaan kaum kafir Qurasy.
Setelah peristiwa Ikrar Aqabah, Nabi Muhammad kembali memikirkan langkah politik selanjutnya dengan mengizinkan para pengikutnya melakukan hijrah ke kota Yatsrib. Sementara Nabi Muhammad masih memilih berdomisi di Kota Makkah mencari masa-masa tenang sekaligus menunggu perintah dari Allah Swt.
pakar berpendapat bahwa gerakan politik yang dilakukan oleh Nabi Muhammad merupakan langkah yang cerdas dan penuh dengan perhitungan. Hal itu terbukti dengan adanya keberhasilan Nabi Muhammad dan para pengikutnya dalam melakukan perintah hijrah.
Para peneliti sejarah politik ada yang mengkategorikan bahwa corak politik yang diterapkan oleh nabi Muhammad adalah bercorak teo-demokratis, yaitu suatu pola pemerintahan yang dalam setiap menyelesaikan persoalan terlebih dahulu melakukan musyawarah baru kemudian menunggu ketetapan dari tuhan.[9]
Kehidupan Yatsrib (kemudian terkenal dengan sebutan Madinah) pada masa Nabi Muhammad menjadi batu pijakan utama dalam mencatat sejarah perpolitikan umat Islam. Para pakar sejarah berpendapat bahwa politik Islam dalam konteks negara, pertama kali muncul dan berkembang di Madinah.
Perpolitikan Islam di Madiah terbentuk secara prural dengan kolaborasi dari berbagai kalangan dan aliran, antara umat Islam, kaum Yahudi, para penyembah berhala (kabilah Aus dan Khazraj). Secara garis besar, suasana politik pada waktu itu dipengarui oleh dua imperium besar yaitu Romawi dan Persia.
Langkah politik Nabi Muhammad pertama kali adalah menyatukan kaum muslimin muhajirin dan ansor.Langkah ini bisa dikatakan cukup cerdas, karena untuk membentuk kekuatan komunitas, syarat utama yang harus dipenuhi adalah solidaritas antar penduduk. Kemudian Nabi Muhammad membentuk sebuah nota kesepakatan antara penduduk Madinah secara umum yang tercatat sebagai piagam Madinah.
Piagam ini merupakan dokumen politik yang telah ditinggalkan oleh Nabi Muhammad selama kurun waktu seribu empat ratus dua puluh lima tahun lamanya. Piagam ini pulalah yang telah menetapkan adanya kebebasan beragama, menyatakan pendapat, berserikat, dan pelarangan akan tindak kejahatan. Dengan piagam itu, kota Madinah menjadi tempat yang memiliki peradapan tinggi karena benar-benar telah menghormati seluruh penduduk yang berdomosili di dalamnya. Madinah yang semula dipenuhi dengan tindak kejahatan, kekerasan dan peperangan menjadi kota yang menjunjung tinggi hak dan egaliter.
Menurut al-Sayyid Muhammad Ma’ruf  al-Dawalibi seorang pengajar di universitas Paris mengatakan bahwa yang paling menakjubkan tentang piagam Madinah adalah memuat tentang prinsip-prinsip perpolitikan umat Islam yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
Para sejarawan berselisih pendapat dalam menentukan ketokohan Nabi Muhammad dalam menjalankan roda perpolitikan di kota Madinah. Hal itu disebakan adanya perbedaan pemahaman akan tugas seorang nabi. Apakah sikap politik yang diambil oleh Nabi Muhammad sebagai aplikasi dari perintah yang berupa wahyu atau merupakan hasil dari ijtihat sebagai seorang pemimpin atau hakim sebagai jawaban dari kebutuhan dan situasi masyarakat?
Perbedaan pandangan dalam menafsirkan tugas-tugas kenabian dalam bidang politik menyebabkan perdepatan yang tak kunjung usai. Apakah Islam memiliki sistem politik, apakah Islam merupakan agama yang menjunjung demokrasi? Kalau kita mau jujur untuk kembali membuka lembaran-lembaran sejarah, maka kita akan menemukan berbagai peristiwa yang bersifat duniawi seperti; politik, ekonomi dan sebagainya, berawal dari problema masyarakat masa Nabi, kemudian wahyu datang sebagai upaya penyelesaian akan kebutuhan masyarakat. Berbeda dengan unsur akidah yang secara langsung turun dari langit tanpa melihat pada kondisi masyarakat.
Terlebih, sepeninggal nabi Muhammad, umat Islam tidak memiliki sistem tatanan sosial politik yang baku sehingga peristiwa perebutan kekuasaan untuk menggantikan posisi nabi Muhammad sebagai pimpinan menyebabkan umat Islam terbelah menjadi berbagai golongan. Demikan halnya dengan persoalan demokrasi, kalau kita menilik makna demokrasi sebagai sebuah sistem yang mengedepankan asas musyawarah mufakat, maka Islam adalah agama yang paling demokrasi. Namun, jika kita menilik makna demokrasi sebagai sebuah sistem yang berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, maka Islam bukan agama demokrasi karena secara hukum syari’ah Islam berasal dari Tuhan untuk kemaslahatan manusia.

2.      Politik Islam Masa Khalifah al-Rasyidin

Sejarah perkembangan umat Islam yan mengalami pancaroba dan maju-mundur sebenarnya dimulai setelah Nabi wafat. Periode ini ditandai oleh berbagai peristiwa uji coba sistem perpolitikan dan keagamaan dalam membangun wilayah Islam, dalam bentuk konkret dengan berdasarkan pada landasan-landasan yang telah dibagun dan diletakkan oleh Nabi Muhammad. Sejarah perkembangan umat Islam yang berjalan secara gradual dan terseok-seok dimulai dengan munculnya masa khalifah al-Râsyidîn.
Pada masa khalifah al-Rasyidin, sistem politik umat Islam berbentuk khilafah, dengan proses pemilihan pemimpin melalui jalur musyawarah mufakat atau melalui sistem perwakilan. Atau oleh peneliti sejarah politik bentuk pemerintahan pada masa ini bercorak aristokrat demokratik.[10]
Pada waktu Nabi Muhammad wafat, konflik ditubuh umat Islam dalam menentukan pemimpin sebagai pengganti Nabi tidak terbendung. Sebelum Nabi Muhammad dimakamkan, kaum muslimin anshar berkumbul di serabi bani Sa’ad untuk memilih dan menentukan pemimpin. Dalam musyawarah tersebut terdapat beberapa nama yang akan diajukan kepada umat Islam, antara lain; Abu Bakar al-Siddiq, Umar ibn Khathab, Abu Ubaid ibn Jarah. Kaum muslim anshar berpendapat bahwa syarat menjadi seorang pemimpin adalah harus berasal dari kaum anshar, karena Nabi Muhammad telah melakukan misi dakwanya di Makkah selama kurang lebih 13 tahun namun dengan pengikut yang sedikit, tidak ada yang mampu melindunginya dari siksaan kaum kafir Qurasy. Semenatara ketika Nabi Muhammad hijrah ke Madinah, ia dengan leluasa bisa melakukan misi dakwahnya dengan atas bantuan kaum muslimin anshar, sehingga Nabi Muhammad dan umat Islam mampu menaklukkan Jazirah Arab.
Sedangkan kaum muslim muhajirin berpendapat bahwa syarat menjadi seorang pemimpin pengganti Nabi Muhammad harus berasal dari Kota Makkah, karena kaum muslimin Makkah adalah orang yang pertama kali percaya akan kenabian nabi Muhammad. Setelah melalui perdebatan yang sangat panjang, akhirnya diputuskan bahwa tiap-tiap golongan kaum muslimin mengajukan perwakilannya dan berakhir dengan terpilihnya Abu Bakar al-Shiddiq sebagai pemimpin (khalifah) umat Islam pengganti Nabi Muhammad.
Namun, dalam salah satu sumber mengatakan bahwa peistiwa pengangkatan Abu Bakar al-Siddiq sebagai khalifah tidak dihadiri oleh Ali ibn Abi Thalib karena sibuk menyiapkan proses pemakaman Nabi Muhammd. Setelah Ali ibn Abi Thalib mendengar pengangkatan Abu Bakar al-Siddiq sebagai khalifah, ia tidak menyetujui kecuali setelah beberapa waktu yang cukup lama. Menurut riwayat dikatakan bahwa  Ali ibn Abi Thalib adalah sahabat yang paling dekat dengan Nabi Muhammad karena ia adalah orang yang pertama kali masuk Islam dan menjadi suami dari Fatimah, putri Nabi Muhammad., sehingga lebih berhak menjadi seoarang khalifah dibanding Abu Bakar al-Siddiq.
Pidato kenegaraan yang dilontarkan Abu Bakar al-Siddiq merupakan statemen politik yang maju dengan menggunakan prinsip-prinsip modern yang partisipatif dan egaliterKhotbah itu merupakan khotbah pertama yang menerangkan sistem pemerintahan Islam.[11] Abu Bakar al-Siddiq merupakan khalifah yang mampu menyelesaikan pertikayan-pertikayan yang terjadi ditubuh umat Islam. Perbedaan-perbedaan yang muncul cenderung mengarah pada unsur politik bukan pada unsur agama. Salah satu gerakan politik Abu Bakar al-Siddiq adalah memerangi orang-orang yang ingkar zakat atau lebih dikenal denganhurûb al-riddah.
Sosio politik umat Islam pada masa Abu Bakar al-Siddiq berjalan stabil. Prinsip-prinsip perpolitikan dalam membentuk sebuah khilafah yang digunakan berpedoman pada ajaran-ajaran agama Islam berupa al-Qur’an dan Hadis. Keberanian Abu Bakar ibn al-Siddiq dalam mengambil kebijakan-kebijakan tidak populer menjadikan ia sebagai khalifah yang tangguh dan berwibawa.
Perlawanan dan pertentang dalam pengankatan Abu Bakar al-Siddiq sebagai khalifah, menjadikan khalifah pertama ini bertindak preventif dalam menentukan dan memilih khalifah ke dua. Sebelum Abu Bakar al-Siddiq wafat, ia telah menyiapkan komite pemilihan khalifah untuk menggantikannya. Dengan rekomendasi dari Abu Bakar al-Siddiq dan persetujuan kaum muslimin pada umumnya, Umar ibn Khattab terpilih secara aklamasi sebagai khalifah Islam ke dua setelah Abu Bakar al-Siddiq.
Persoalan yang terjadi pada masa khalifah Umar ibn Khatthab cenderung mengarah pada persoalan politik luar, pada masa tersebut, umat Islam melakukan ekspansi perluasan daerah. salah satu contoh dengan diutusnya Amr ibn Ash untuk memimpin pembukaan kota Mesir. Sementara dalam tubuh umat Islam sendiri cenderung setabil, hal itu didukung oleh keberanian dan kewibawaan yang dimiliki oleh Umar ibn Khathab.
Perpecahan terbesar terjadi ketika pada masa khalifah Utsman ibn Affan, hal itu muncul karena para pengikut Ali ibn Abi Thalib dan kaum anshar merasa jenuh akan kepemimpinan kaum muhajirin. Kejenuhan dan kebosanan itu memuncak ketika khalifah Utsman ibn Affan lebih mementingkan kedekatan (kerabat) dalam pengangkatan para penguasa. Khalifah Utsman ibn Affan yang notabeni berasal dari keturunan bani umayyah, mendapat tantang keras dari kaum Syi’ah dan keturunan bani Hasyim. Perselisihan politik semakin memanas sebagaimana pertikayan yang pernah terjadi antara Bani Hasyim dan Bani Umayyah pada masa jahiliah (sebelum kedatangan Islam).[12]
Gerakan makar oleh sebagian golongan dilancarkan secara sembunyi-sembunyi. Mereka menentang kebijakan politik khalifah Utsman ibn Affan dengan menjadikan Ali ibn Abi Thalib sebagai justifikasi dari gerakannya, salah satu tokoh provokatif dalam peristiwa tersebut adalah Abdullah ibn Saba, seorang Yahudi dari Yaman dan kemudian masuk Islam. Abdullah ibn Saba terkenal sebagai tokoh yang getol menyuarakan agar umat Islam berpaling dari khalifah Utsman ibn Affan dan bersatu memilih Ali ibn Thalib.
Setelah khalifah Utsman ibn Affan wafat dalam keadaan terbunuh, maka kaum muslimin memilih dan mengangkat Ali ibn Abi Thalib sebagai khalifah selanjutnya. Dalam proses pemilihan Ali ibn Abi Thalib, kaum muslimin terbagi menjadi tiga golongan. Pertama; golongan yang menerima dan mengangkat Ali ibn Abi Thalib, golongan ini didukung oleh sebagian besar para pembesar kaum muhajirin. Kedua; golongan yang menolak pengangkatan Ali ibn Abi Thalib sebagai khalifah, diantaranya; Thalha, al-Zubair dan Mua’wiyah, mereka beranggapan dan menuduh bahwa Ali ibn Abi Thalib ikut terlibat dalam pembunuhan khalifah Utsman ibn Affan. Ketiga; golongan yang memilih netral dengan tidak bepihak pada kedua golongan di atas. Golongan ini didukung oleh sebagian besar para pembesar umat Islam dari kalangan para sahabat diantaranya; Abdullah ibn Umar ibn Khathab, Muhammad ibn Maslamah, Sa’id ibn Abi Waqqash, Asamah ibn Zaid, Husnan ibn Tsabit dan Abdullah ibn Salamah. Dari berbagai golongan di atas, muncullah beberapa aliran dalam tubuh umat Islam diantaranya; Khawarij, Syi’ah dan Murjiah.
Masa perpolitikan umat Islam dalam ranah khilafah berakhir pada masa khalifah Ali ibn Thalib. Masa khilafah merupakan pengalaman perpolitikan umat Islam yang mampu mengenal perbedaan terkecil antara gagasan dan realita. Namun diantara keempat khalifah tersebut, hanya khalifah Abu Bakar Al-Siddiq yang wafat secara wajar. Umar ibn Khathab dibunuh oleh budak gubenur Basrah yang beragama nasrani, Utsman ibn Affan dibunuh oleh lawan politiknya, kemudian rumahnya diserang dengan tuduan pemerintah yang tirani, dan Ali ibn Thalib terbunuh ketika sedang dalam perjalanan menuju masjid.

3.      Dari Khilafah Menuju Daulah

Jika kita mengkaji secara teliti sejarah perkembangan Islam, maka kita akan menemukan beberapa pola atau perubahan yang sering kali dilandaskan pada realita yang ada. Dengan analisa yang bersifat instan, maka kita akan mampu memprediksi hal-hal yang  akan terjadi di masa mendatang.
Di sinilah kita akan menemukan pola perpindahan sistem perpolitikan Islam. Dalam catatan sejarah, Muawiyah (pendiri Dinasti Umawiyah) menyatakan dirinya sebagai khalifah pada tahun 660, pada masa khalifah Ali ibn Thalib masih berkuasa. Peristiwa tersebut menyebabkan perpecahan daerah kekuasaan Islam menajadi dua bagian, pertama; Kuffah sebagai pusat pemerintahan khalifah Ali ibn Abi Thalib, kedua; Demaskut sebagai pusat pemerintahan Mua’wiyah.
Namun secara garis besar, kepemimpinan Mu’awiyah disahkan secara general setelah khalifah Ali ibn Abi Thalib meninggal. Masa kepemimpinan Mu’awiyah merupakan starting point perubahan sistem perpolitikan umat Islam dari sistem khilafah menuju sistem daulah.
Dalam sejarah tercatat bahwa Mu’awiyah dengan kreasi politiknya mampu menanggulangi suasana ricuhdalam tubuh umat Islam. Keberanian Mu’awiyah merubah sistem perpolitikan khilafah dengan sistem daulah telah menyatukan kembali umat Islam yang bertikai sehingga terkenal dengan masa ‘âmul jamâ’ah (tahun rekonsiliasi). Mu’awiyah merubah pola perpolitikan umat Islam dengan membangun infra struktural pemerintah seperti kantor-kantor.
Sosio perpolitikan umat Islam di masa dinasti Umawiyah dihiyasi oleh berbagai pertempuran ideologi antara ahlul hadis, theolog, filosof dan sebagainya. Para tokoh berusaha untuk memperoleh dukungan dari para penguasa sehingga ideologi yang diajarkan bisa dengan muda diterima oleh masyarakat. Pada masa dinasti Umawiyah, perkonomian umat Islam maju dengan pesat terbukti dengan adanya mata uang khusus yang disahkan oleh dinasti Umawiyah sebagai alat transaksi jual beli. Pergantian pimpinan pada masa ini berdasarkan pada garis keturunan, sehingga jauh berbeda bila dibandingkan dengan masa khilafah. Dinasti ini bertahan dari tahun 661-750 M.
Setelah dinasti Umawiyah runtuh, dinasti Abbasiah muncul dengan pola dan sistem politik yang sama. Bani Abbasiah yang secara garis keturunan berasal dari Bani Hasyim secara otomatis mendapatkan dukungan penuh dari kaum Syi’ah. Pada masa dinasti Abbasiah, berbagai disiplin ilmu pengetahuan dan budaya berkembang secara pesat. Budaya Yunani tersebar luas pada masa dinasti ini, dengan ditandai dengan banyaknya buku-buku yang diterjemahkan dari bahasa Yunani. Dinasti ini bertahan dari tahun 750-1517 M, dengan pembagian dua wilayah, pertama; Dinasti Abbasiah di Bagdad yang dipelopori oleh oleh Abu al-Abbas Al-Saffah dan berakhir pada masa al-Musta’sim. Kedua; Dinasti Abbasiyah di Kairo yang didirikan oleh al-Mustansir dan berakhir pada masa al-Mutawakkil III. Sebagaimana dinasti Umawiyah, dinasti ini juga menerapkan sistem keturunan dalam proses peralihan kekuasaan.

C.   Prinsip-Prinsip Dasar Politik Islam
            Menurut teori Islam, dalam mekanisme operasional pemerintahan negara seyogianya mengacu pada prinsip-prinsip syari’ah. Islam sebagai landasan etika dan moral direalisir dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Endang Saifuddin Anshari (1986:167) mengatakan, “Negara adalah organisasi (organ, badan atau alat) bangsa untuk mencapai tujuannya.” Oleh karena itu, bagi setiap Muslim negara adalah alat untuk merealisasikan kedudukannya sebagai abdi Allah dan mengaktualisasikan fungsinya sebagai khalifah Allah, untuk mencapai keridhaan Allah, kesejahteraan duniawi dan ukhrawi, serta menjadi rahmat bagi sesama manusia dan alam lingkungannya.[13]
Secara konseptual di kalangan ilmuwan dan pemikir politik Islam era klasik, menurut Mumtaz Ahmad dalam bukunya State, Politics,  and Islam, menekankan tiga ciri penting sebuah negara dalam perspektif Islam, yakni adanya masyarakat Muslim (ummah),  hukum Islam (syari’ah), dan kepemimpinan masyarakat    Muslim  (khilafah).
Prinsip-prinsip negara dalam Islam tersebut ada  yang berupa prinsip-prinsip dasar yang mengacu pada teks-teks syari’ah yang jelas dan tegas. Selain itu, ada prinsip-prinsip tambahan yang merupakan kesimpulan dan termasuk ke dalam fikih.
Prinsip-prinsip dasar politik adalah:  pertama, kedaulatan, yakni kekuasaan itu merupakan amanah.  Kedaulatan yang mutlak dan legal adalah milik Allah. Abu al-A’la al-Maududi menyebutnya dengan “asas pertama dalam teori politik Islam.” Al-Maududi dalam bukunya It’s Meaning and Message (1976: 147-148) menegaskan,”Kepercayaan terhadap keesaan (tauhid) dan kedaulatan Allah adalah landasan dari sistem  sosial dan moral yang dibawa oleh Rasul Allah. Kepercayaan itulah yang merupakan satu-satunya titik awal dari filsafat politik dalam Islam.”
Kedaulatan ini terletak di dalam kehendak-Nya seperti yang dapat dipahami dari syari’ah. Syari’ah sebagai sumber dan kedaulatan yang aktual dan konstitusi ideal, tidak boleh dilanggar. Sedang masyarakat Muslim, yang diwakili oleh konsensus rakyat (ijma’ al-ummah), memiliki kedaulatan dan hak untuk mengatur diri sendiri.
Kedua, syura dan ijma’. Mengambil keputusan di dalam semua urusan kemasyarakatan dilakukan melalui konsensus dan konsultasi dengan semua pihak. Kepemimpinan negara dan pemerintahan harus ditegakkan  berdasarkan persetujuan rakyat melalui pemilihan secara adil, jujur, dan amanah. Sebuah pemerintahan atau sebuah otoritas (sulthan) yang ditegakkan dengan cara-cara non-syari’ah adalah tidak dapat ditolerir dan tidak dapat memaksa kepatuhan rakyat.
Ketiga, semua warga negara dijamin  hak-hak pokok tertentu. Menurut Subhi Mahmassani dalam bukunya Arkan Huquq al-Insan,beberapa hak warga negara yang perlu dilindungi adalah: jaminan terhadap keamanan pribadi, harga diri  dan harta benda, kemerdekaan untuk mengeluarkan pendapat dan berkumpul, hak untuk mendapatkan pelayanan hukum secara adil tanpa diskriminasi, hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak, pelayanan medis dan kesehatan, serta keamanan untuk melakukan aktifitas-aktifitas ekonomi.
Keempat,  hak-hak negara. Semua warga negara, meskipun yang oposan atau yang bertentangan pendapat dengan pemerintah sekalipun, mesti tunduk  kepada otoritas negara yaitu kepada hukum-hukum dan peraturan negara.
Kelima, hak-hak khusus dan batasan-batasan bagi warga negara yang non-Muslim—memiliki hak-hak sipil yang sama. Karena negara ketika itu adalah negara ideologis, maka tokoh-tokoh pengambilan keputusan yang memiliki posisi kepemimpinan dan otoritas (ulu al-amr), mereka harus sanggup menjunjung tinggi syari’ah. Dalam sejarah politik Islam, prinsip  dan kerangka  kerja konstitusional pemerintahan seperti ini, terungkap dalam Konstitusi Madinah atau “Piagam Madinah” pada era kepemimpinan Rasulullah di Madinah, yang mengayomi masyarakat yang plural.
Keenam, ikhtilaf  dan konsensus yang menentukan. Perbedaan-perbedaan pendapat diselesaikan berdasarkan keputusan dari suara mayoritas yang harus ditaati oleh seluruh masyarakat. Prinsip mengambil keputusan menurut suara mayoritas ini sangat penting untuk mencapai tujuan bersama.
Selain prinsip-prinsip dasar negara yang konstitusinya  berdasar syari’ah, ada juga prinsip-prinsip tambahan (subsider) yang merupakan kesimpulan dan termasuk ke dalam bidang fikih siyasah (hukum ketatanegaraan dalam Islam). Prinsip-prinsip tambahan tersebut  adalah mengenai pembagian fungsi-fungsi pemerintahan yaitu hubungan antara Badan Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif. Dalam hubungan ketiga badan (lembaga negara) tersebut prinsip-prinsip berkonsultasi (syura) mesti dilaksanakan di dalam riset, perencanaan, menciptakan undang-undang dan menjaga nilai-nilai syari’ah dengan memperhatikan otoritas (kewenangan) yang dimiliki masing-masing lembaga tersebut.
Prinsip-prinsip politik dalam Islam, Abdul Qadir Audah dalam bukunya Al-A’mal al-Kamilah: Al-Islam wa Audha’una al-Qanuniyah(1994: 211-223) mensistematisir sebagai berikut: 1) Persamaan yang komplit; 2) Keadilan yang merata; 3) Kemerdekaan dalam pengertian yang sangat luas; 4) Persaudaraan; 5) Persatuan; 6) Gotong royong (saling membantu); 7) Membasmi pelanggaran hukum; 8) Menyebarkan sifat-sifat utama; 9) Menerima dan mempergunakan hak milik yang dianugerahkan Tuhan; 10) Meratakan kekayaan kepada seluruh rakyat, tidak boleh menimbunnya; 11) Berbuat kebajikan dan saling menyantuni; dan 12) Memegang teguh prinsip musyawarah).

D.   Ruang Lingkup Politik Islam
Pada garis besarnya, obyek pembahasan sistem politik Islam meliputi:
1.      Siyasah Dusturiyah atau fiqih modern disebut hukum tatanegara,
2.      Siyasah Dauliyah atau disebut hukum internasional dalam Islam,
3.      Siyasah Maliyah yaitu hukum yang mengatur tentang pemasukan, pengelolaan, dan pengeluaran uang milik negara.[14]
Siyasah Dusturiyah, secara global membahas hubungan pemimpin dengan rakyatnya serta institusi yang ada di Negara itu sesuai dengan kebutuhan rakyat untuk kemaslahatan dan pemenuhan kebutuhan rakyat itu sendiri.
Sedangkan Siyasah Dauliyah meliputi:
1.      Kesatuan umat Islam,
2.      Keadilan (Al adalah),
3.      Persamaan (Al musawah),
4.      Kehormatan Manusia (Karomah insaniyah),
5.      Toleransi (Al tasamuh),
6.      Kerjasama kemanusiaan,
7.      Kebebasan, kemerdekaan (Al akhlak Al karomah).
Sedangkan Siyasah Maliyah meliputi:
1.      Prinsip-prinsip kepemilikan harta,
2.      Tanggung jawab sosial yng kokoh, tanggung jawab terhadap diri sendiri, keluarga, masyarakat, dan sebaliknya.
3.      Zakat, hasil bumi, emas perak, ternak dan zakat fitrah,
4.      Khoroj (pajak),
5.      Harta peninggalan dari orang yang tidak meninggalkan ahli waris,
6.      Jizyah (harta temuan),
7.      Ghonimah (harta rampasan perang),
8.      Bea cukai barang impor,
9.      Eksploitasi sumber daya alam yang berwawasan lingkungan















BAB 3
PENUTUP
           
Definisi politik dari sudut pandang Islam adalah pengaturan urusan-urusan (kepentingan) umat baik dalam negeri maupun luar negeri berdasarkan hukum-hukum Islam. Pelakunya bisa negara (khalifah) maupun kelompok atau individu rakyat.
Rasulullah saw bersabda:

Adalah Bani Israel, para Nabi selalu mengatur urusan mereka. Setiap seorang Nabi meninggal, diganti Nabi berikutnya. Dan sungguh tidak ada lagi Nabi selainku. Akan ada para Khalifah yang banyak” (HR Muslim dari Abu Hurairah ra).

Hadits diatas dengan tegas menjelaskan bahwa Khalifahlah yang mengatur dan mengurus rakyatnya (kaum Muslim) setelah nabi saw. hal ini juga ditegaskan dalam hadits Rasulullah:
Imam adalah seorang penggembala dan ia akan dimintai pertanggung jawaban atas gembalaannya”.

Jadi, esensi politik dalam pandangan Islam adalah pengaturan urusan-urusan rakyat yang didasarkan kepada hukum-hukum Islam. Adapun hubungan antara politik dan Islam secara tepat digambarkan oleh Imam al-Ghazali: “Agama dan kekuasaan adalah dua saudara kembar. Agama adalah pondasi (asas) dan kekuasaan adalah penjaganya. Segala sesuatu yang tidak berpondasi niscaya akan runtuh dan segala sesuatu yang tidak berpenjaga niscaya akan hilang dan lenyap”.
Berbeda dengan pandangan Barat politik diartikan sebatas pengaturan kekuasaan, bahkan menjadikan kekuasaan sebagai tujuan dari politik. Akibatnya yang terjadi hanyalah kekacauan dan perebutan kekuasaan, bukan untuk mengurusi rakyat. Hal ini bisa kita dapati dari salah satu pendapat ahli politik di barat, yaitu Loewenstein yang berpendapat “politic is nicht anderes als der kamps um die Macht” (politik tidak lain merupakan perjuangan kekuasaan).

Pada garis besarnya, obyek pembahasan sistem politik Islam meliputi:
1.   Siyasah Dusturiyah atau fiqih modern disebut hukum tatanegara,
2.    Siyasah Dauliyah atau disebut hukum internasional dalam Islam,
3.    Siyasah Maliyah yaitu hukum yang mengatur tentang pemasukan, pengelolaan, dan pengeluaran uang milik negara.[15]

            Dengan membaca kembali sejarah-sejarah Islam dari masa Rasulullah Saw sampai masa-masa yang jauh sesudah beliau, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa Islam juga tidak lengah dengan masalah politik, karena Islam itu sendiri mengatur semua aspek kehidupan.



Daftar Pustaka

        Ash Shiddiqie, Tengku Muhammad Hasbi, Islam dan Politik Bernegara, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2002.
        Khaldun, Ibn, Filsafat Islm Tentang Sejarah, Jakarta: Tintamas, 1976.
        Nasution, Harun, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: UI Press, 1979.
        Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam, Jakarta: Grafindo Persada, 2010.
        Poerwadarminta, W.J.S, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1991.
        Rais, Dhiauddin, Teori politik Islam, Jakarta: Gema Insani, 2001.
        Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: UI Press, 1990.


[1] Ibn Khaldun, Filsafat Islam Tentang Sejarah,(terj.) Charles Issawi, dari judul asli an Arab Philosophy of History, (Jakarta: Tintamas, 1976), cet.II, hlm. 180.
[2] Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, jilid II, (Jakarta: UI Press, 1979), cet. I, hlm. 92.
[3] W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia,(Jakarta: Balai Pustaka, 1991), cet XII, hlm. 763.
[4] Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, Ajaran, sejarah dan pemikiran, (Jakarta: UI Press, 1990) cet. I, hlm. 2-3
[5] Lihat QS Syura, 42: 28; QS Al-Nahl, 16: 90; QS Al-Hasyr, 59:7.
[6] Munawir Sjadzali, op. cit., hlm. 1-2
[7] Tengku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Islam dan Politik Bernegara, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2002)

[8] Harun Nasution, op,. cit,  hlm. 92.
[9]Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Grafindo Persada, 2010), cet I, hlm. 318.
[10] Ibid, hlm. 318
[11] Ath-Thabari: juz 3, hlm. 210, cetakan Darul Ma’arif
[12]Dhiauddin Rais, Teori politik Islam, bab V, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001)
[13] Tengku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, op, cit,.
[14] Wahyuddin. Dkk, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Grasindo, 2009), hlm. 127.
[15] Wahyuddin. Dkk, op,. cit, hlm. 127

fb-activity

Twitter

 

Site Info

Followers

kumpulan makalah, cerpen, teka teki, puisi, pantun Copyright © 2009 Musthafa 'Arabiy Designed by metrix Blogger Template for Ipietoon
In Collaboration With fifa