PENDAHULUAN
Ilmu jarh wa ta’dil termasuk salah satu bidang studi yang menarik
perhatian para pelajar ilmu hadits khususnnya dan para penuntut ilmu agama
umumnya. Hal ini disebabkan antara lain karena ilmu jarh wa ta’dil ini
termasuk salah satu dari cabang-cabang ilmu hadits yang dengannya bisa
diketahui hal-ihwal para perawi hadits yang sangat berpengaruh terhadap
kualitas hadits yang mereka riwayatkan. Kendatipun demikian, kadang-kadang juga
terdapat suatu anggapan ditengah-tengah masyarakat Islam bahwa menjarh (mencela)
perawi hadits termasuk perbuatan yang tidak dibenarkan oleh islam.
Oleh karena itu, maka
sangat perlu sekali pemakalah memaparkan didalam makalah ini tentang pengertian
ilmu jarh wa ta’dil, sejarah perkembangannya, kaidah-kaidah yang
digunakan dalam ilmu jarh wa ta’dil, serta hal-hal lain yang berhubungan
dengan ilmu ini.
AL-JARH
WA AL-TA’DIL
A. Pengertian
Kata al-jarh
adalah bentuk isim masdar dari kata جَرْحًا – يَجْرُحُ – جَرَحَ yang berarti melukai atau luka yang
mengalirkan darah.[1]
Atau memaki, menista, dan menjelek-jelekan (baik secara berhadapan langsung
maupun dari belakang).[2]
Dalam istilah ilmu hadits, kata
al-jarh berarti terlihatnya sifat pribadi periwayat yang tidak adil,
atau sifat buruk dibidang hafalannya dan kecermatannya, yang menyebabkan
gugurnya atau lemahnya riwayat yang disampaikan. Atau sifat seorang rawi yang
dapat mencacatkan keadilan dan kehafalannya. Al-jarh dapat pula
diartikan memberikan sifat kepada seorang perawi dengan sifat yang menyebabkan
pendhaifan riwayatnya atau tidak diterima riwayatnya.
Ilmu al-jarh adalah ilmu
yang mempelajari cacat para perawi seperti pada keadilan dan kedhabitannya.
Para ahli hadits mendefenisikan al-jarh dengan:
الطَّعْنُ فِى رَاوِى الْحَدِيْثِ بِمَا يَسْلُبُ
أَوْ يَخِلُّ بِعَدَالَتِهِ أَوْ ضَبْطِهِ
“kecacatan pada perawi hadits disebabkan oleh
sesuatu yang dapat merusak keadilan atau kedhabitan perawi”
Lawan dari kata al-jarh adalah
at-ta’dil. Kata at-ta’dil adalah bentuk masdar dari kata تَعْدِيْلٌ – يُعَدِّلُ – عَدَّلَ yang berarti mengemukakan sifat-sifat adil
yang dimiliki oleh seseorang. Artinya, membersihkan dan mensucikan perawi dan
menetapkan bahwa ia adil dan dhabit.
Ajjaj al-Khatib, seorang ahli
hadits kontemporer dari suriah mengatakan, bahwa at-ta’dil adalah orang
yang tidak tampak padanya sifat-sifat yang dapat merusak agama dan perangainya,
sehingga berita dan kesaksiannya dapat diterima sebagai suatu kebenaran.[3]
Hasbi Ash Shiddieqy
mendefenisikannya, sebagai berikut:
وَصْفُ الرَّاوِي بِصِفَاتٍ تُوْحِبُ عَدَالَتُهُ
الَّتِى هِيَ مِدَارُ الْقَبُوْلِ لِرِوَايَتِهِ
“mensifatkan si perawi
dengan sifat-sifat yang dengan karenanya orang memandangnya adi, yang menjadi
puncak penerimaan riwayatnya”.
Adilnya rawi
terlihat pada pengamalan dan ketekunannya dalam menunaikan ajaran agama,
terhindar dari perbuatan terlarang dan keji, memprioritaskan kebenaran serta
memelihara ucapannya dari hal-hal yang merusakkan agama dan kepribadiannya.
Atas dasar
tersebut, maka ilmu al-jarh wa at-ta’dil bisa diartikan sebagai ilmu
yang menerangkan tentang cacat-cacat yang dihadapkan kepada para perawi dan
tentang penta’dilannya (memandang lurus perangai) para perawi dengan memakai
kata-kata yang khusus untuk menerima atau menolak riwayat mereka.[4]
Ali Mustafa Yaqub mendefenisikannya dengan ilmu yang mengupas karakteristik
masing-masing rawi, apakah ia seorang yang bertaqwa, jujur, kuat ingatannya,
dan sebagainya, atau ia seorang yang suka berbuat maksiat, pelupa, pendusta,
dan sebagainya.
Abd al-Maujuf
mendefenisikan ilmu al-jarh wa at-ta’dil adalah: ilmu yang menerangkan
tentang cacat yang dihadapkan kepada para perawi dan tentang penta’dilannya
(memandang adil para perawi dengan memakai kata-kata yang khusus dan tentang
martabat-martabat kata-kata itu.[5]
Dengan
demikian, maka ilmu al-jarh wa at-ta’dil adalah ilmu yang membahas hal
ihwal rawi dengan menyoroti kesalehan dan kejelekannya, sehingga dengan
demikian periwayatannya dapat diterima atau ditolak.
Al-Ghazali
dan an-Nawawi, sebagaimana dikutip oleh Hasbi Ash Shiddieqy mengatakan, bahwa
tajrih termasuk kategori umpat yang dibolehkan untuk tujuan kemaslahatan.
Mengumpat orang (tajrih) dibolehkan baik dia masih hidup ataupun sudah
meninggal karena ada kepentingan agama yang harus dicapai dengan mengumpat itu.[6]
Mengumpat (tajrih)
yang dibolehkan ada enam macam, yaitu:
1. Karena teraniaya. Boleh bagi seseorang yang
teraniaya mengatakan kepada hakim bahwa dia telah dizalimi oleh seseorang
dengan tindakannya begini-begini.
2. Meminta pertolongan untuk membasmi
kemungkaran. Seseorang boleh mengatakan kepada penguasa atau kepada yang dapat
membasmi kemungkaran bahwa seseorang telah berbuat jahat, maka tegurlah dia.
3. Untuk meminta Fatwa. Seorang mustafti boleh
mengatakan kepada seorang mufti bahwa ia telah dizalimi. Maka dia boleh
menceritakan bagaimana jalan melepaskan diri dan kezaliman itu.
4. Untuk menghidarkan manusia dari kejahatan
orang yang jahat. Dalam hal ini, mencela diri saksi di depan hakim atau mencela
para perawi hadits yang memang patut dicela. Tindakan ini boleh hukumnya dengan
ijma’ ulama, bahkan ada yang mengatakan hukumnya wajib.
5. Orang yang dijarah itu orang yang
terang-terangan berbuat bid’ah, maka boleh disebut secara terang-terangan
bid’ah yang dianut dan maksiat-maksiat yang dilakukannya.
6. Untuk memperkenalkan pribadi yang sebenarnya.
Apabila seseorang terkenal dengan suatu sifat yang menunjuk kepada suatu
keaiban, seperti si tuli, maka kita boleh mengatakan “si A yang tuli” dengan
maksud menerangkan keadaan orang itu dan bukan dengan maksud menjelekkannya.[7]
B. Sejarah dan Perkembangannya
Pertumbuhan ilmu jarh wa ta’dil seiring dengan tumbuhnya periwayatan hadits. Namun perkembangannya yang
lebih nyata adalah sejak terjadinya al-fitnah al-kubra atau pembunuhan
terhadap khalifah Utsman bin Affan pada tahun 36 H. Pada waktu itu, kaum muslim
telah terkotak-kotak kedalam berbagai kelompok yang masing-masing mereka merasa
memiliki legitimasi atas tindakan yang mereka lakukan apabila mengutip
hadits-hadits Rasulullah SAW. Jika tidak ditemukan, mereka kemudian membuat
hadits-hadits palsu. Sejak itulah para ulama hadits menyeleksi hadits-hadits
Rasulullah SAW, tidak hanya dari segi matan atau materinya saja tetapi mereka
juga melakukan kritik terhadap sanad serta para perawi yang menyampaikan hadits
tersebut. Diantara sahabat yang pernah membicarakan masalah ini adalah Ibnu
Abbas (68 H), Ubaidah Ibn Shamit (34 H), dan Anas bin Malik (39 H).
Apa yang dilakukan oleh para
sahabat terus berlanjut pada masa tabi’in dan atba’ut tabi’in serta masa-masa
sesudah itu untuk memperbincangkan kredibilitas serta akuntabilitas
perawi-perawi hadits. Diantara para tabi’in yang membahas jarh wa ta’dil adalah
Asy-Sya’bi (103 H), Ibnu Sirrin (110 H), dan Sa’id bin al-Musayyab (94 H).
Ulama-ulama jarh wa ta’dil menerangkan kejelekan para perawi, walaupun
para rawi itu ayahnya, anaknya, ataupun saudaranya sendiri. Mereka berbuat
demikian, semata-mata untuk memelihara agama dan mengharapkan ridha dari Allah
SWT. Syu’bah ibn al-Hajjaj (82 H-160 H ), pernah ditanyakan tentang hadits
Hakim bin Zubair. Syu’bah menjawab: “saya takut kepada neraka”. Hal yang sama
pernah dilakukan kepada Ali ibn al-Madini (161 H-234 H) tentang ayahnya
sendiri. Ali ibn al-Madini menjawab, “Tanyakanlah tentang hal itu kepada orang
lain”. Kemudian orang yang bertanya itu mengulangi lagi pertanyaannya. Kemudian
Ali berkata: “ayahku adalah seorang yang lemah dalam bidang hadits”.[8]
Para ahli hadits sangat berhati-hati dalam memperkatakan keadaan
para rawi hadits. Mereka mengetahui apa yang harus dipuji dan apa yang harus dicela. Mereka
melakukan ini hanyalah untuk menerangkan kebenaran dengan rasa penuh tanggung
jawab.
Ilmu jarh wa ta’dil yang
embrionya telah ada sejak zaman sahabat, telah berkembang sejalan dengan
perkembangan periwayatan hadits dalam Islam. Beberapa ulama bekerja
mengembangkan dan menciptakan berbagai kaidah, menyusun berbagai istilah, serta
membuat berbagai metode penelitian sanad dan matan hadits, untuk “menyelamatkan”
hadits Nabi dari “noda-noda” yang merusak dan menyesatkan.[9]
Demikianlah sesungguhnya jarh
wa ta’dil adalah kewajiban syar’I yang harus dilakukan. Investigasi terhadap para perawi dan keadilan mereka bertujuan
untuk mengetahui apakah rawi itu seorang yang amanah, alim terhadap agama,
bertaqwa, hafal dan teliti, pada hadits, tidak sering dan tidak peragu. Semua
ini merupakan suatu keniscayaan. Kealpaan terhadap kondisi tersebut akan
menyebabkan kedustaan kepada Rasulullah SAW.[10]
Jarh dan ta’dil tidak
dimaksudkan untuk memojokkan seorang rawi, melainkan untuk menjaga kemurnian
dan otentisitas agama Islam dari campur tangan pendusta. Maka hal itu
wajar-wajar saja, bahkan merupakan suatu keharusan yang harus dilakukan. Sebab
tanpa ilmu ini tidak mungkin dapat dibedakan mana hadits yang otentik dan mana
hadits yang palsu.
Pada abad ke-2 H, ilmu jarh wa ta’dil mengalami
perkembangan pesat dengan banyaknya aktivitas para ahli hadits untuk mentajrih
dan menta’dil para perawi. Diantara ulama yang memberikan perhatian pada
masalah ini adalah Yahya bin Sa’ad al-Qathtan (189 H), Abdurrahman bin Mahdi (198 H),
Yazim bin Harun (189 H), Abu Daud at-Thayalisi (240 H), dan Abdurrazaq bin
Humam (211 H).[11]
Perkembangan ilmu jarh wa ta’dil mencapai puncaknya pada abad ke-3 H. Pada masa
ini muncul tokoh-tokoh besar dalam ilmu jarh wa ta’dil, seperti Yahya
bin Ma’in (w.230 H), Ali bin Madini (w.234 H), Abu Bakar bin Abi Syaihab (w.235
H), dan Ishaq bin Rahawaih (w. 237 H). Ulama-ulama lainnya adalah ad-Darimi (w.
255 H), al-Bukhari (w.256 H), Muslim (w. 261 H), al-Ajali (w.261 H), Abu Zur’ah
(w.264 H), Abu Daud (w.257 H), Abu Hatim al-Razi (w.277 H), Baqi ibn Makhlad
(w. 276 H), dan Abu Zur’ah ad-Dimasqy (w.281 H).[12]
Karya-karya besar dalam ilmu jarh
wa ta’dil diantaranya, yaitu:
1. Ma’rifatur
rijal, karya Yahya Ibni Ma’in, merupakan kitab pertama yang sampai pada kita,
juz I buku tersebut berupa manuskrip ( tulisan tangan) berada di Darul Kutub
Adh-Dhahiriyah
2. Ad-Dhu’afa’, karya Imam Muhammad bin Isma’il Al-Bukhpri . Dicetak di Hindia tahun 320 H
3. At-Tsiqat, karya Abu Hatim bin Hibban Al-Busty (wafat tahun 304 H). Ingat bahwa beliau ini sangat muda menta’dil rawi jadi hati-hati atas pendapatnya. Naskah asli kitab ini ditemukan di Darul Kutub Al-Mishriyah dengan tidak lengkap.
4. Al-jarhu wa ta’dil, karya Abdurrahman bin Abi Hatim Ar-Razy (240-326 H), kitab ini merupakan kitab yang terbesar dan mempunyai banyak faidah bagi kita. Terdiri dari 4 jilid yang memuat 18.055 rawi, sering di setak berkali-kali dan terakhir dicetak di India pada tahun 1373 H menjadi 9 jilid, 1 jilid I dijadikan mukaddimah dan jilid yang lainya dijadikan 2.
5. Mizanul I’tidad, karya Imam Syamsuddin Muhammad Ad-Dzahabi (673-748), terdi dari 3 jilid, sudah dicetak berkali-kali dan terakhir dicetak di Mesir tahun 1325 H mencakup 10.907oran rijalus sanad.
6. Lisanul Mizan, karya Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalany (773-852 H) memuat 14.343 rijalus sanad, dicetak di India pada th 1329-1331 dalam 6 jilid.
2. Ad-Dhu’afa’, karya Imam Muhammad bin Isma’il Al-Bukhpri . Dicetak di Hindia tahun 320 H
3. At-Tsiqat, karya Abu Hatim bin Hibban Al-Busty (wafat tahun 304 H). Ingat bahwa beliau ini sangat muda menta’dil rawi jadi hati-hati atas pendapatnya. Naskah asli kitab ini ditemukan di Darul Kutub Al-Mishriyah dengan tidak lengkap.
4. Al-jarhu wa ta’dil, karya Abdurrahman bin Abi Hatim Ar-Razy (240-326 H), kitab ini merupakan kitab yang terbesar dan mempunyai banyak faidah bagi kita. Terdiri dari 4 jilid yang memuat 18.055 rawi, sering di setak berkali-kali dan terakhir dicetak di India pada tahun 1373 H menjadi 9 jilid, 1 jilid I dijadikan mukaddimah dan jilid yang lainya dijadikan 2.
5. Mizanul I’tidad, karya Imam Syamsuddin Muhammad Ad-Dzahabi (673-748), terdi dari 3 jilid, sudah dicetak berkali-kali dan terakhir dicetak di Mesir tahun 1325 H mencakup 10.907oran rijalus sanad.
6. Lisanul Mizan, karya Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalany (773-852 H) memuat 14.343 rijalus sanad, dicetak di India pada th 1329-1331 dalam 6 jilid.
C. Faidah Ilmu
Jarh wa Ta’dil
Faedah mengetahui ilmu Jarh wa Ta’dil ialah untuk menetapkan apakah periwayatan seorang rawi itu dapat diterima atau harus ditolak sama sekali. Apabilah seorang rawi sudah di tarjih sebagai rawi yang cacat maka periwayatanya ditolak dan apabilah seorang rawi dita’dil sebagi orang yang adil maka periwayatanya diterima, selama memenuhi syarat-syarat yang lain untuk menerima hadits dipenuhi.
Cacat (keaiban) rawi itu banyak. Akan tetapi umumnya berkisar pada 5 macam, yaitu :
1. Bid’ah (melakukan tindakan tercela, diluar ketentuan Syara’)
Rawi yang disifati dengan bid’ah adakalanya tergolong orang-orang yang di anggap kafir dan adakalanya tergolong orang yang difasikan. Mereka yang dianggap kafir adalah golongan Rafidhah yang mempercayai bahwa Tuhan itu menyusup (bersatu) pada sayyidina ‘Ali dan pada imam-imam yang lain , dan mempercayai bahwa Ali akan kembali lagi ke dunia sebelum hari kiamat.
Sedangkan orang-orang yang dianggap fasiq ialah orang yang mempunyai I’tikad bertentangan dengan dasar syari’at.
2. Mukhalafah (meriwayatkan hadits yang berbeda dengan periwayatan rawi yang lebih tsiqah).
Apabila rawi yang bagus ingatannya dan jujur meriwayatkan suatu hadits yang berlawanan maknanya dengan orang yang lebih kuat ingatannya atau berlawanan dengan kebanyakan orang, yang kedua periwayatan tersebut tidak dapat disatukan/digabungkan maknanya. Periwayatan demikian disebut "Syadz", dan kalau perlawanan itu berkesangatan atau rawinya lemah sekali hapalannya, periwayatannya disebut "Munkar".
3. Ghalath (banyak kekeliruan dalam periwayatannya)
Ghalath (slaah) itu kadang-kadnag banyak dan kadang-kadnag sedikit. Seorang rawi yang disifati banyak kesalahan dalam riwayatanya maka hendaknya diadakan peninjauan kembali terhadap hadits-hadits yang telah diriwayatkannya, akan tetapi jika periwayatnya tadi juga terdapat dalam periwatan rawi yang disifati dengan ghalath, maka haditsnya tsb dapat di pakai melalui sanad hadits kedua ini tapi apabila tidak ada maka haditsnya di tawaqufkan.
Faedah mengetahui ilmu Jarh wa Ta’dil ialah untuk menetapkan apakah periwayatan seorang rawi itu dapat diterima atau harus ditolak sama sekali. Apabilah seorang rawi sudah di tarjih sebagai rawi yang cacat maka periwayatanya ditolak dan apabilah seorang rawi dita’dil sebagi orang yang adil maka periwayatanya diterima, selama memenuhi syarat-syarat yang lain untuk menerima hadits dipenuhi.
Cacat (keaiban) rawi itu banyak. Akan tetapi umumnya berkisar pada 5 macam, yaitu :
1. Bid’ah (melakukan tindakan tercela, diluar ketentuan Syara’)
Rawi yang disifati dengan bid’ah adakalanya tergolong orang-orang yang di anggap kafir dan adakalanya tergolong orang yang difasikan. Mereka yang dianggap kafir adalah golongan Rafidhah yang mempercayai bahwa Tuhan itu menyusup (bersatu) pada sayyidina ‘Ali dan pada imam-imam yang lain , dan mempercayai bahwa Ali akan kembali lagi ke dunia sebelum hari kiamat.
Sedangkan orang-orang yang dianggap fasiq ialah orang yang mempunyai I’tikad bertentangan dengan dasar syari’at.
2. Mukhalafah (meriwayatkan hadits yang berbeda dengan periwayatan rawi yang lebih tsiqah).
Apabila rawi yang bagus ingatannya dan jujur meriwayatkan suatu hadits yang berlawanan maknanya dengan orang yang lebih kuat ingatannya atau berlawanan dengan kebanyakan orang, yang kedua periwayatan tersebut tidak dapat disatukan/digabungkan maknanya. Periwayatan demikian disebut "Syadz", dan kalau perlawanan itu berkesangatan atau rawinya lemah sekali hapalannya, periwayatannya disebut "Munkar".
3. Ghalath (banyak kekeliruan dalam periwayatannya)
Ghalath (slaah) itu kadang-kadnag banyak dan kadang-kadnag sedikit. Seorang rawi yang disifati banyak kesalahan dalam riwayatanya maka hendaknya diadakan peninjauan kembali terhadap hadits-hadits yang telah diriwayatkannya, akan tetapi jika periwayatnya tadi juga terdapat dalam periwatan rawi yang disifati dengan ghalath, maka haditsnya tsb dapat di pakai melalui sanad hadits kedua ini tapi apabila tidak ada maka haditsnya di tawaqufkan.
4. Jahalatul hal (tidak dikenal identitasnya)
Jahalatul hal merupakan pantangan untuk diterimanya haditsnya, selama belum jelas identitas rawinya. Apabila sebagian orang telah mengenal identitasnya dengan baik, kemudian ada yang mengingkarinya, dalam hal ini didahulukan penetapan orang yang telah mengenalnya, sebab tentu ia lebih tahu dari orang yang mengingkarinya.
5. Da’wal inqitha’ (diduga keras sanadnya terputus)
Misalnya menuduh rawi men-tadlis-kan atau meng-irsal-kan suatu hadits.
Cara untuk
mengetahui keadilan dan kecacatan rawi dan masalah-masalahnya
Keadilan seorang rawi dapat diketahui dengan salah satu dari dua ketetapan berikut :
a. Bi-Syuhrah, karena kepopulerannya di kalangan ahli ilmu bahwa dia terkenal sebagai orang yang adil. Seperti: Anas bin Malik, Sufyan Ats-Tsauri, Syu’bah bin Al-Hajjaj, Asy-Syafi’I, Ahmad dan lain sebagainya. Mereka yang sudah terkenal sebagai orang yang adil di kalangan para ahli ilmu, maka mereka tidak perlu lagi untuk diperbincangkan keadilannya.
b. [b]Pujian dari seseorang yang adil (tazkiyah). Yaitu ditetapkan sebagai rawi yang adil oleh orang yang adil, yang semula rawi yang dita'dilkan itu belum dikenal sebagai rawi yang adil. Begitupun kebalikannya dengan jarh.
Syarat-syarat bagi penta’dil (mu’addil) dan pentarjih (jarih)
a) Berilmu pengetahuan
b) Takwa
c) Wara’ (orang yang selalu menjauhi perbuatan maksiat, syubhat, doea kecil, dan makruhat)
d) Jujur
e) Menjauhi fanatik glongan
f) Mengetahui sebab-sebab menta’dil dan dan mentajrih. (Mufassar)
Bolehkah penta’dilan dan pentajrihan seseorang tanpa menyebutkan sebab-sebabnya?
Disini terdapat perselisihan pendapat tapi yang dianut oleh para muhadditsin seperti Bukhari Muslim, Abu Dawud, dll adalah bahwa Menta’dil tanpa menyebutkan sebab-sebabnya itu boleh karena sebab-sebanya itu banyak sekali dan jika disebutkan bisa menyibukkan kerja saja tapi kalau dalam hal tajrih tidak boleh kerena setiap pentarjih mempunyai sebab-sebab yang berbeda-beda, padahal jarh dapat berhasil dengan satu sebab, maka perlu diterangkan cacat seorang rawi.
Jumlah orang yang di pandang cukup untuk menta’dil dan mentarjih rawi-rawi
Dalam hal ini terdapat perselisihan pendapat :
a) Pedapat fuqoha’ Madinah minimal 2 orang baik dalam syahadah maupun riwayah
b) Cukup 1 orang dalam riwayah dan bukan dalam soal syahadah, sebab bilangan tidak menjajadi syarat dalam penerimaan hadits.
c) Cukup 1 orang saja, baik dalam soal riwayah maupun dalam soal syahadah.
Pertentangan antara Jarh dan Ta’dil
Apabila terjadi pertentangan antara jarh dan ta'dil pada seraong rawi, dimana sebagian ulama’ menta’dil dan sebagian yang lain mentakhrij maka dalam hal ini terdapat ada 4 pendapat :
i. Jarhi harus didahulukan secara mutlak walau jumlah mu’addil lebih banyak dari pada jarhnya.
Sebab bagi rajih tentu lebih mengetahui tentang sisi batin dari rawi daripada mu’addil. Pendapat ini dianut oleh Jumhur 'ulama.
ii. Ta’dil harus didahulukan dari jarh
Karena jarihh bisa salah dalam mencacatkan rawi apalagi kalau ada rasa benci maka pasti sebab pentarjihanya bersifat subyektif berbeda dengan mu’addil dalam menilai rawi mereka lebih mendahulukan kelogisan atau obyektif
iii. Bila jumlah mu’addilnya lebih banyak dari rajih maka didahulukan ta’dil
Karena jumlah yang banyak memperkuat kedudukan mereka
iv. Masih tetap dalam pertentangan selama belum ditentukan yang menjarhnya.
Pengarang at-Taqrib mengemukakan sebab timbulnya khilaf ini ialah jika jumlah mu'adiil lebih banyak dari jarih, tetapi kalau jumlahnya seimbang atau lebih sedikit antara mu'addil dan jarih, maka didaulukan jarh, dan ini merupaka putusan 'ijma.
Keadilan seorang rawi dapat diketahui dengan salah satu dari dua ketetapan berikut :
a. Bi-Syuhrah, karena kepopulerannya di kalangan ahli ilmu bahwa dia terkenal sebagai orang yang adil. Seperti: Anas bin Malik, Sufyan Ats-Tsauri, Syu’bah bin Al-Hajjaj, Asy-Syafi’I, Ahmad dan lain sebagainya. Mereka yang sudah terkenal sebagai orang yang adil di kalangan para ahli ilmu, maka mereka tidak perlu lagi untuk diperbincangkan keadilannya.
b. [b]Pujian dari seseorang yang adil (tazkiyah). Yaitu ditetapkan sebagai rawi yang adil oleh orang yang adil, yang semula rawi yang dita'dilkan itu belum dikenal sebagai rawi yang adil. Begitupun kebalikannya dengan jarh.
Syarat-syarat bagi penta’dil (mu’addil) dan pentarjih (jarih)
a) Berilmu pengetahuan
b) Takwa
c) Wara’ (orang yang selalu menjauhi perbuatan maksiat, syubhat, doea kecil, dan makruhat)
d) Jujur
e) Menjauhi fanatik glongan
f) Mengetahui sebab-sebab menta’dil dan dan mentajrih. (Mufassar)
Bolehkah penta’dilan dan pentajrihan seseorang tanpa menyebutkan sebab-sebabnya?
Disini terdapat perselisihan pendapat tapi yang dianut oleh para muhadditsin seperti Bukhari Muslim, Abu Dawud, dll adalah bahwa Menta’dil tanpa menyebutkan sebab-sebabnya itu boleh karena sebab-sebanya itu banyak sekali dan jika disebutkan bisa menyibukkan kerja saja tapi kalau dalam hal tajrih tidak boleh kerena setiap pentarjih mempunyai sebab-sebab yang berbeda-beda, padahal jarh dapat berhasil dengan satu sebab, maka perlu diterangkan cacat seorang rawi.
Jumlah orang yang di pandang cukup untuk menta’dil dan mentarjih rawi-rawi
Dalam hal ini terdapat perselisihan pendapat :
a) Pedapat fuqoha’ Madinah minimal 2 orang baik dalam syahadah maupun riwayah
b) Cukup 1 orang dalam riwayah dan bukan dalam soal syahadah, sebab bilangan tidak menjajadi syarat dalam penerimaan hadits.
c) Cukup 1 orang saja, baik dalam soal riwayah maupun dalam soal syahadah.
Pertentangan antara Jarh dan Ta’dil
Apabila terjadi pertentangan antara jarh dan ta'dil pada seraong rawi, dimana sebagian ulama’ menta’dil dan sebagian yang lain mentakhrij maka dalam hal ini terdapat ada 4 pendapat :
i. Jarhi harus didahulukan secara mutlak walau jumlah mu’addil lebih banyak dari pada jarhnya.
Sebab bagi rajih tentu lebih mengetahui tentang sisi batin dari rawi daripada mu’addil. Pendapat ini dianut oleh Jumhur 'ulama.
ii. Ta’dil harus didahulukan dari jarh
Karena jarihh bisa salah dalam mencacatkan rawi apalagi kalau ada rasa benci maka pasti sebab pentarjihanya bersifat subyektif berbeda dengan mu’addil dalam menilai rawi mereka lebih mendahulukan kelogisan atau obyektif
iii. Bila jumlah mu’addilnya lebih banyak dari rajih maka didahulukan ta’dil
Karena jumlah yang banyak memperkuat kedudukan mereka
iv. Masih tetap dalam pertentangan selama belum ditentukan yang menjarhnya.
Pengarang at-Taqrib mengemukakan sebab timbulnya khilaf ini ialah jika jumlah mu'adiil lebih banyak dari jarih, tetapi kalau jumlahnya seimbang atau lebih sedikit antara mu'addil dan jarih, maka didaulukan jarh, dan ini merupaka putusan 'ijma.
Tingkatan lafadz dari yang terkuat untuk
menta’dil rawi
Ibnu Hajar menyusun ke dalam 6 tingkatan, yaitu
1) Berbentuk af’alut tafdhil atau ungkapan lain yang setara maknanya dengan af’alut tafdhil.
Contoh :
أوثق الناس (Orang yang paling tsiqah)
أثبت الناس حفظا وعدالة (orang yang paling mantap hafalan dan keadilanya)
إليه المنتهي فى الثبت (orang yang paling top keteguhan hati dan lidahnya)
ثقة فوق الثقة (orang yang tsiqoh melebihi orang yang tsiqoh)
2) Berbentuk pengulangan lafadz yang sama atau dalam maknanya saja
Contoh:
ثبت ثبت (Orang yang teguh lagi teguh)
ثقة ثقة (orang yang tsiqah lagi tsiqah)
حجة حجة (orang yang ahli lagi petah lidahnya)
ثبة ثقة (orang yang teguh lagi tsiqah)
حافظ حجة (orang yang hafidz lagi petah lidahnya)
ضابط متقن (orang yang kuat ingatan lagi meyakinkan ilmunya )
3) Menggunakan Lafadz yang mengandung arti kuat ingatan
Contoh:
ثبت (orang yang teguh hati dan lidahnya )
متقن (orang yang meyakinkan ilmunya)
ثقة (orang yang tsiqoh)
حافظ (orang yang kuat hafalanya)
حجة (orang yang petah lidahnya)
4) Menggunakan Lafadz yang tidak menggunakan arti kuat ingatan dan adil Contoh:
صدوق (orang yang sangat jujur)
مأمون (orang yang dapat memegang amanat)
لابأس به (orang yang tidak cacat)
5) Menggunakan lafadz yang menunjukkan kejujuran rawi tanpa ada kedhabitn
Contoh:
محله الصدق (orang yang berstatus jujur)
جيد الحديث (orang yang baik haditsnya)
حسن الحديث (orang yang bagus haditsnya)
مقارب الحديث (orang yang haditsnya berdekatan dengan hadits-hadits orang lain yang tsiqoh)
6) Menggunakan lafadz yang menunjukkan arti mendekati cacat. Seperti sifat-sifat diatas yang diikuti kafadz “inssaAllah”, atau ditashghitkan, atau lafadz tersebut dikaitkan dengan pengharapan .
Contoh:
صدوق إن شاءالله (orang yang jujur, jika Allah menghendaki)
فلان أرجوا بأن لابأس به (orang yang diharapkan tsiqah)
فلان صويلح (orang yang shalih)
فلان مقبول حديثه (orang yang diterima haditsnya)
6 tingkatan lafadz dari yang terjelek yang digunakan untuk mentajrih rawi:
1) Menggunakan lafadz –lafadz af’alut tafdhil atau ungkapan-ungkapan lain yang serupa denganya menunjukkan amat cacatnya rawi.
Contoh:
أوضع الناس (orang yang paling dusta)
أكذب الناس (orang yang paling bohong)
إليه المنتهى فى الوضع (orang yang paling top kebohonganya)
2) Menggunakan lafadz –lafadz sighot mubalaghoh menunjukkan amat cacatnya rawi.
Contoh:
كذاب (orang yang pembohong)
وضاع (orang yang pendusta)
دجال (orang yang penipu)
3) Menunjukkan tuduhan dusta, bohong atau yang lainya
Contoh:
فلان متهم بالكذل (orang yang dituduh bohong)
أو متهم بالوضع (orang yang dituduh dusta)
فلان فيه النظر (orang yang perlu diteliti)
فلان ساقط (orang yang gugur)
فلان ذاهب الحديث (orang yang hadtsnya telah hilang)
فلان متروك الحديث (orang yang ditinggal haditsnya)
4) Menunjukkan amat lemahnya rowi
Contoh:
مطرح الحديث (orang yang dilempar haditsnya)
فلان ضعيف (orang yang lemah)
فلان مردود الحديث (orang yang ditolak hadtsnya)
5) Menunjukkan kacaunya hafalan rawi
Contoh:
فلان لايحتج به (orang yang tidak dapat dibuat hujjah hadtsnya)
فلان مجهول (orang yang tidak dikenal identitasnya)
فلان منكر الحديث (orang yang munkar haditsnya)
فلان مضطرب الحديث (orang yang kacau haditsnya)
فلان واه (orang yang banyak menduga-duga)
6) Menggunakan lafadz-lafadz yang dekat dengan sifat adil tapi menunjukkan kelemahanya.
Contoh:
ضعف حديثه (orang yang didho’ifkan haditsnya)
فلان مقال فيه (orang yang diperbincangkan)
فلان فيه خلف (orang yang disingkiri)
فلان لين (orang yang lunak)
فلان ليس با لحجة (orang yang tidak dapat digunakan hujjah haditsnya)
فلان ليس با لقوى (orang yang tidak kuat)
Ibnu Hajar menyusun ke dalam 6 tingkatan, yaitu
1) Berbentuk af’alut tafdhil atau ungkapan lain yang setara maknanya dengan af’alut tafdhil.
Contoh :
أوثق الناس (Orang yang paling tsiqah)
أثبت الناس حفظا وعدالة (orang yang paling mantap hafalan dan keadilanya)
إليه المنتهي فى الثبت (orang yang paling top keteguhan hati dan lidahnya)
ثقة فوق الثقة (orang yang tsiqoh melebihi orang yang tsiqoh)
2) Berbentuk pengulangan lafadz yang sama atau dalam maknanya saja
Contoh:
ثبت ثبت (Orang yang teguh lagi teguh)
ثقة ثقة (orang yang tsiqah lagi tsiqah)
حجة حجة (orang yang ahli lagi petah lidahnya)
ثبة ثقة (orang yang teguh lagi tsiqah)
حافظ حجة (orang yang hafidz lagi petah lidahnya)
ضابط متقن (orang yang kuat ingatan lagi meyakinkan ilmunya )
3) Menggunakan Lafadz yang mengandung arti kuat ingatan
Contoh:
ثبت (orang yang teguh hati dan lidahnya )
متقن (orang yang meyakinkan ilmunya)
ثقة (orang yang tsiqoh)
حافظ (orang yang kuat hafalanya)
حجة (orang yang petah lidahnya)
4) Menggunakan Lafadz yang tidak menggunakan arti kuat ingatan dan adil Contoh:
صدوق (orang yang sangat jujur)
مأمون (orang yang dapat memegang amanat)
لابأس به (orang yang tidak cacat)
5) Menggunakan lafadz yang menunjukkan kejujuran rawi tanpa ada kedhabitn
Contoh:
محله الصدق (orang yang berstatus jujur)
جيد الحديث (orang yang baik haditsnya)
حسن الحديث (orang yang bagus haditsnya)
مقارب الحديث (orang yang haditsnya berdekatan dengan hadits-hadits orang lain yang tsiqoh)
6) Menggunakan lafadz yang menunjukkan arti mendekati cacat. Seperti sifat-sifat diatas yang diikuti kafadz “inssaAllah”, atau ditashghitkan, atau lafadz tersebut dikaitkan dengan pengharapan .
Contoh:
صدوق إن شاءالله (orang yang jujur, jika Allah menghendaki)
فلان أرجوا بأن لابأس به (orang yang diharapkan tsiqah)
فلان صويلح (orang yang shalih)
فلان مقبول حديثه (orang yang diterima haditsnya)
6 tingkatan lafadz dari yang terjelek yang digunakan untuk mentajrih rawi:
1) Menggunakan lafadz –lafadz af’alut tafdhil atau ungkapan-ungkapan lain yang serupa denganya menunjukkan amat cacatnya rawi.
Contoh:
أوضع الناس (orang yang paling dusta)
أكذب الناس (orang yang paling bohong)
إليه المنتهى فى الوضع (orang yang paling top kebohonganya)
2) Menggunakan lafadz –lafadz sighot mubalaghoh menunjukkan amat cacatnya rawi.
Contoh:
كذاب (orang yang pembohong)
وضاع (orang yang pendusta)
دجال (orang yang penipu)
3) Menunjukkan tuduhan dusta, bohong atau yang lainya
Contoh:
فلان متهم بالكذل (orang yang dituduh bohong)
أو متهم بالوضع (orang yang dituduh dusta)
فلان فيه النظر (orang yang perlu diteliti)
فلان ساقط (orang yang gugur)
فلان ذاهب الحديث (orang yang hadtsnya telah hilang)
فلان متروك الحديث (orang yang ditinggal haditsnya)
4) Menunjukkan amat lemahnya rowi
Contoh:
مطرح الحديث (orang yang dilempar haditsnya)
فلان ضعيف (orang yang lemah)
فلان مردود الحديث (orang yang ditolak hadtsnya)
5) Menunjukkan kacaunya hafalan rawi
Contoh:
فلان لايحتج به (orang yang tidak dapat dibuat hujjah hadtsnya)
فلان مجهول (orang yang tidak dikenal identitasnya)
فلان منكر الحديث (orang yang munkar haditsnya)
فلان مضطرب الحديث (orang yang kacau haditsnya)
فلان واه (orang yang banyak menduga-duga)
6) Menggunakan lafadz-lafadz yang dekat dengan sifat adil tapi menunjukkan kelemahanya.
Contoh:
ضعف حديثه (orang yang didho’ifkan haditsnya)
فلان مقال فيه (orang yang diperbincangkan)
فلان فيه خلف (orang yang disingkiri)
فلان لين (orang yang lunak)
فلان ليس با لحجة (orang yang tidak dapat digunakan hujjah haditsnya)
فلان ليس با لقوى (orang yang tidak kuat)
Tingkatan
Ta’dil Dari yang Tertinggi Segi Kualitasnya:
1.
Shahih Bukhari
2.
Shahih Muslim
3.
Sunan Turmudzi
4.
Sunan Abu Daud
5.
Sunan An-Nasai
6.
Al-Bayhaqy
7.
At-Thabary
KESIMPULAN
Ilmu al-jarh wa at-ta’dil adalah ilmu
yang membahas hal ihwal rawi dengan menyoroti kesalehan dan kejelekannya,
sehingga dengan demikian periwayatannya dapat diterima atau ditolak.
Faedah
mengetahui ilmu Jarh wa Ta’dil ialah untuk menetapkan apakah periwayatan
seorang rawi itu dapat diterima atau harus ditolak sama sekali. Apabilah
seorang rawi sudah di tarjih sebagai rawi yang cacat maka periwayatanya ditolak
dan apabilah seorang rawi dita’dil sebagi orang yang adil maka periwayatanya
diterima.
Syarat-syarat bagi
penta’dil (mu’addil) dan pentarjih (jarih):
a) Berilmu pengetahuan
b) Takwa
c) Wara’ (orang yang selalu menjauhi perbuatan maksiat, syubhat, doea kecil, dan makruhat)
d) Jujur
e) Menjauhi fanatik glongan
f) Mengetahui sebab-sebab menta’dil dan dan mentajrih.
a) Berilmu pengetahuan
b) Takwa
c) Wara’ (orang yang selalu menjauhi perbuatan maksiat, syubhat, doea kecil, dan makruhat)
d) Jujur
e) Menjauhi fanatik glongan
f) Mengetahui sebab-sebab menta’dil dan dan mentajrih.
DAFTAR PUSTAKA
Abd al-Maujuf, Al-Jarh wa at-ta’dil, (Kairo: Dar
al-Salafiyah, 1988)
Louis Ma’luf, al-munjibfi al-Lughat wa al-A’lam,
(Beirut: Dar al-Fikr, 1987)
Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: Hidakarya,
1989)
Syuhudi Ismail, Hadits Nabi Menurut Pembela,
Pengingkar, dan Pemalsunya, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995)
[9] Syuhudi Ismail, Hadits Nabi Menurut Pembela,
Pengingkar, dan Pemalsunya, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), h. 52.